07. Boneka Yeo-Wol

25 9 0
                                    

“Youngjae,” suara Ibu memecah lamunanku, membuatku langsung memfokuskan pandangan kepadanya. “Mengapa berhenti? Kemari, jangan jauh-jauh dari Ibu.” 

Aku pun menuruti perkataannya dan berjalan mendekati dirinya. “Bagaimana? Apakah ada neneknya?” tanyaku setelah dekat dengan Ibu.

Ibu mengetuk pintu dengan ragu, menunggu jawaban dari dalam rumah. Sambil menunggu, aku kembali memandangi rumah nenek, berharap semua ini hanya perasaan gelisah yang tak beralasan. Suasana di sekitar rumah tetap terasa aneh, seperti ada sesuatu yang tersembunyi di balik ketenangan pagi itu.

Ketika pintu akhirnya terbuka, nenek muncul di ambang pintu. Rambutnya yang sudah memutih disanggul rapi, dan kerutan di wajahnya mencerminkan perjalanan hidup yang panjang. Matanya yang tajam, namun lembut, menatap kami dengan kehangatan yang sedikit mengurangi kegelisahanku. 

“Ya ampun, Cho Hee… aku pikir siapa yang datang tadi. Bagaimana kabarmu?” ujar Nenek dan langsung memeluk Ibu dengan erat.

“Ya ampun, Cho Hee… aku pikir siapa yang datang tadi. Bagaimana kabarmu?” ujar Nenek dan langsung memeluk Ibu dengan erat.

Melihat kehangatan di antara mereka, sedikit mengurangi perasaan gelisah yang menyelimuti hatiku sejak perjalanan tadi. Raut wajah Nenek sedikit bahagia, dia terlihat baik-baik saja. Namun, pikiran tentang Tante Yoon-Jin yang mengatakan nenek seolah sudah kehilangan kewarasan kembali menggangguku. 

Nenek melepas genggamannya lalu Ibu berkata, “Aku sungguh khawatir sekali dengan dirimu. Bagaimana kabar Ibu? Apakah baik-baik saja selama aku belum ke sini?”

Nenek tersenyum lembut, meski ada sedikit kerutan di sudut matanya yang mengisyaratkan kelelahan. “Oh, aku baik-baik saja, Cho Hee. Tidak usah khawatir, Ibu masih bisa mengurus diri sendiri,” jawabnya sambil menepuk punggung Ibu dengan sayang. 

"Kenapa kau tidak pergi sekolah?" tanya nenek dengan nada pedas, sambil memberi cubitan ringan di pipiku. "Bagaimana kabarmu?” dia bertanya sambil tersenyum hangat padaku. 

“Nenek, lepaskan,” aku memohon supaya dilepaskan dan akhirnya ia melepaskan dan aku langsung menjawab, “Kabarku baik-baik saja, bagaimana dengan Nenek?” 

Dia tersenyum dan merespon, “Kabarku baik-baik saja. Baiklah, jangan bicara di sini. Ayo kita masuk ke dalam rumah. Maafkan Nenek tadi, sedang merakit boneka untuk hiasan.”

“Wah, benarkah?” tanyaku penasaran, tertarik dengan boneka yang Nenek maksud. “Boleh aku melihatnya?” 

“Boleh,” balasnya dengan tersenyum lalu kami bertiga pun masuk kedalam. 

Nenek memang sangat rajin. Meskipun tinggal sendiri, ia selalu memastikan rumahnya tetap bersih dan rapi. Setiap sudut rumah memancarkan kehangatan dan ketelitiannya. Tidak ada debu yang terlihat, dan semua barang tertata dengan sempurna. Rumahnya selalu terasa nyaman dan menyenangkan untuk dikunjungi, mencerminkan betapa ia mencintai dan merawat setiap detil di dalamnya. Keuletannya dalam menjaga kebersihan dan keteraturan sungguh mengagumkan. 

“Apakah Ibu membersihkan ini sendirian? Wah, pasti lelah sekali,” ujar Ibu dengan kagum, berdiri di dekat sofa. Sementara itu, aku sudah duduk, mataku berkeliling mencari boneka yang dimaksud. “Mana boneka yang sedang dibuat, Nek?” tanyaku penasaran. 

Namun, Nenek tidak membalas pertanyaanku. Sebaliknya, ia menjawab pertanyaan Ibu, “Tidak, aku melakukannya perlahan-lahan. Sebentar, aku ke dapur dulu untuk mengambil minum untuk kalian. Duduk dulu, Nak.” 

“Tidak usah, Bu, jangan repot-repot,” elak Ibu. “Kami kesini cuma ingin melihat keadaan Ibu saja.”

“St… tidak apa-apa, jangan merasa repot. Tunggu saja,” balas Nenek.

Who Are You? (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang