06. Suasana Ini Sungguh Berbeda

14 7 0
                                    

Pukul 05.42. Mataku terbuka dengan tersentak. Aku segera mengubah posisi dari berbaring menjadi duduk dan melihat sekeliling. Wah, aku berhasil melewati malam-malam yang menakutkan. Padahal, waktu kemarin sehabis bermimpi kalau di kamarku itu ada setan dengan kaki yang penuh dengan darah. 

“Aku ingat bahwa hari ini tidak berangkat sekolah,” gumamku sambil mengusap mataku yang masih ngantuk, “Lebih baik mandi untuk menghilangkan sebel.” 

Segera aku beranjak dari kasur dan langsung masuk ke kamar mandi. Untung aku menaruh handuk di wastafel. Kalau ibu tahu, pasti ia akan marah.  

Pukul 05.55. Aku bergegas turun untuk menyalakan TV. Karena aku tidak sekolah, aku ingin menonton TV.  

“Selamat pagi, Eomma…” teriakku sambil berlari menuju sofa setelah menginjak keramik. “Buatkan masakan yang lebih enak…” 

Dan tanpa kusadari, rupanya Ayah sedang menonton TV juga, tapi ia duduk di bawah. Aku tidak melihatnya. "Loh? Kenapa tidak pakai seragam? Hari ini kan hari sekolahmu!" ujarnya. 

Aku pikir Ibu sudah memberitahukan kalau aku tidak berangkat sekolah hari ini. "Hm... Ibu tidak memberitahu Ayah?" tanyaku. 

Sejenak ia terdiam kemudian melanjutkan, “Oh… maaf, bagaimana bisa seragammu basah? Duduk disini,” tanya sambil menepuk tempat di sampingnya.  

Aku pun menuruti perkataan, dan aku duduk di sampingnya, “Aku tidak sengaja ketumpahan air saat bersih-bersih toilet sekolah.” 

“Karena bertengkar?” tegas Ayah, “Kenapa bertengkar dengan temanmu?” tanya Ayah lagi.  

“Dianya saja yang cari gara-gara bukan aku yang cari gara-gara,” jawabku dengan pandangan tertuju pada layar TV. “Acara berita ini? Film kartu saja.” 

"Tidak ada nonton TV di pagi hari," ia menentang dengan tegas. Aku hampir mengambil remote TV, tapi Ayah dengan cepat merebutnya. "Ayah! Sini, remotenya!" protesku sambil berusaha meraih remote.

“Sudah sana pergi, jangan usil dengan acara kesukaan ayah,” protes kembali Ayah. “Mengapa harus menonton kartun?! Belajar menonton hal yang lebih dewasa.” 

“Terserah aku, kembalikan remotenya, Ayah! Masa sama anak sendiri tidak mengalah, Ayah! Kembalikan remotenya!” desakku.

“Lebih baik diam saja daripada mengusik hal yang Ayah sukai,” balas Ayah dengan tegas. “Belajar tentang hal yang lebih dewasa, sudah diam saja,” lanjut Ayah. 

“Tidak! Ibu…!!” pekikku dengan keras menggema di seluruh ruangan. “Bu, Ayah tidak mau mengalah! IBU!!” 

“Astaga, kalian berdua malah meributkan hal yang tidak penting!” tiba-tiba saja, Ibu datang dan merebut remote dari Ayah, lalu mematikan TV. “Sudah, lebih baik bantu masak daripada menonton acara tidak jelas seperti ini.”

Dengan tatapan tajam, Ibu menatap kami. Aku dan Ayah hanya bisa diam dan menunduk. Aduh, nampaknya aku mengundang amarah Ibu. 

"Ingin dibantu apa?" tanya Ayah dengan ragu.

"BANTU LIHAT! SUDAH, AYO MAKAN!" balas Ibu dengan nada tinggi. “Tunggu apa lagi? Kalian berdua tidak mau makan?!” 

Who Are You? (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang