15. Mereka Menatap Seperti Tidak Suka

12 5 0
                                    

Pukul tiga sore. Seperti yang diucapkan Ibu, aku diminta untuk mandi dan bersiap-siap pergi ke dokter kejiwaan. Padahal, aku sudah berulang kali untuk mengelak, aku tidak ingin pergi ke dokter jiwa karena aku yakin bahwa mentalku masih baik-baik saja. Namun, semua pembicaraanku tetap tidak bisa dianggap serius.

“Ini demi kebaikan. Jadi, tolong dengarkan nasihat Ibu!” bentaknya sungguh menggema dalam ruangan kamar ini.

"Tapi aku tidak gila! Apa Ibu-" Omonganku terpotong secara tiba-tiba.

"NURUT PADA OMONGANKU, YOUNGJAE! AKU SUDAH MELAHIRKAN DIRIMU!" Ibu menginterupsi dengan suara tegas dan penuh keputusan, “Tunjukan sikapmu jika sungguh menyayangi Ibu.” 

Aku tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun lagi. Tubuhku membeku, pandanganku masih terpaku padanya, dan hatiku terasa hancur setelah mendengar Ibu memarahiku dengan keras untuk pertama kalinya.

"Sekarang, mandi dan bersiaplah," perintahnya dengan suara tenang, namun di matanya masih tersisa jejak amarah yang belum sepenuhnya reda. Aku merasakan tekanan emosional dari belakang kata-katanya, memahami bahwa situasinya serius dan ia tidak main-main, “Untuk apa diam saja?! Ayo, laksanakan!”

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, aku segera bangkit dari kasur dan berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri, meski tanpa semangat. Ini adalah paksaan yang harus kuturuti, dan aku tidak ingin ada keributan lagi. Perasaan tertekan dan putus asa menyelimuti diriku, namun aku tahu bahwa menolak hanya akan memperburuk keadaan. Dan, satu hal yang paling penting, aku tidak ingin membuat Ibu merasa terus-menerus sakit hati karena sikapku. Aku tahu betapa berat beban yang sudah ditanggungnya, dan aku tidak ingin menambah penderitaannya dengan perlawanan atau penolakan ku.

Setelah mandi dan mengenakan pakaian lengan panjang serta celana panjang, aku segera turun untuk menemui Ibu dengan langkah yang sangat malas. Setiap langkah terasa berat, seolah-olah seluruh tubuhku menolak kenyataan yang harus kuhadapi. 

Selesai menuruni tangga, aku langsung melontarkan sebuah pertanyaan, “Kita akan naik apa kesana? Mobil pribadi sedang digunakan oleh ayah.”

Ibu yang penampilan sudah siap semua pun menoleh ke arahku dan membalas, “Ada bus umum, jaman sekarang sudah banyak teknologi yang membantu ke zaman selanjutnya. Tunggu sebentar, kau pakai ini.”

Dia memberikan sebuah jaket berwarna hitam polos padaku. "Untuk apa?" tanyaku, mengenali jaket milik ayah. "Aku tidak ingin memakainya. Dia sangat tidak bisa menggunakan parfum dengan baik," keluhku, mengingat aroma yang selalu terlalu kuat dan mengganggu.

"Jangan begitu, ini tidak terlalu bau," respon Ibu yang sudah terbiasa. "Seburuk apa pun dia, dia tetap ayahmu! Ayo, pakai, di luar sangat dingin.”

“Ya sudah,” kataku dengan enggan, lalu aku memakai jaket polos milik ayah. Begitu memakainya, aku terkejut. "Ini harum," gumamku, menyadari bahwa aroma yang dulu mengganggu kini terasa menyenangkan.

“Kenapa? Harum? Jaket ini sudah Ibu cuci jadi, jangan takut untuk baunya,” ujarnya dengan tersenyum, “Sekarang, kita pergi. Jangan sampai kita kemalaman pulangnya.”

"Baiklah." Kami berdua pun langsung pergi keluar, berjalan menuju halte bus terlebih dulu. Suasana di luar terasa dingin, dan angin sepoi-sepoi menerpa wajahku. Langkah kami berirama dalam suasana yang hening, hanya terdengar suara langkah kaki kami dan desiran angin. Setiap langkah menuju halte terasa seperti perjalanan panjang menuju ketidakpastian. Ibu tampak tegar, meskipun aku bisa melihat kekhawatiran di matanya. Aku sendiri merasa berat, seolah-olah ada beban tak terlihat yang menekan setiap langkahku. Kami berjalan berdampingan dalam diam, masing-masing tenggelam dalam pikiran. Aku berusaha menenangkan diriku, mencoba menerima kenyataan bahwa aku akan menemui dokter kejiwaan, meskipun dalam hati masih ada keraguan.

Who Are You? (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang