21. Tak Seharusnya Dia Disini

8 3 0
                                    

"Dasar manusia tak berguna, kau hanya bersembunyi dari kenyataan! Ayo, tunjukkan wajah bodohmu itu. Jangan pikir kau bisa menghindar dari dunia ini. Hahaha! Lemah dan pengecut, itulah dirimu."

Aku segera menyingkirkan selimut yang menutupi tubuhku, bangkit dengan cepat, dan mulai menarik rambutku sendiri. "Argh! Bisikan itu terus bergema di pikiranku! Aku mencoba untuk tenang, tapi tidak bisa! Astaga, aku ingin sekali untuk mendinginkan pikiran."

Setiap hari, aku terjebak dalam siklus ini. Saat aku mencoba tenang, mereka yang tak terlihat selalu menggangguku, seolah menolak membiarkan aku merasakan kedamaian. Aku hanya ingin tidur setelah menyelesaikan tugas matematika, tapi rasanya mustahil. Batin ini ingin menangis, tapi air mata seolah enggan keluar. Aku sudah terlalu sering menangis.

"Mengeluh juga tidak akan mengubah segalanya," gumamku, melirik ke kanan, dimana ponselku tergeletak. "Lagi-lagi aku memegang dirimu," ujarku dengan nada bosan. Aku mengambil ponsel itu, membuka layar, dan masuk ke aplikasi SMS.

Hanya ada satu pesan yang kuterima, dan tentu saja itu dari In-Gwan. Dia selalu mengucapkan selamat pagi saat hari libur, terlalu rajin untuk hal seperti itu, tapi entah kenapa, aku menyukainya.

Aku membuka kontaknya dan dengan jari yang sedikit gemetar, aku mengetik balasan.

In-Gwan:
"Selamat pagi, kawan.
Jangan lupa mandi sebelum
sarapan."

Me:
"Selamat pagi juga."

Pesan pun terkirim dan menunggu balasan lagi. Kembali mematikan ponsel dan melirik ke pintu kamarku. Omong-omong, suasana kamar ini sangat sepi sekali. Biasanya ibu yang selalu membuat suasana mencair, kini tidak masuk ke dalam kamarku. Kemana dia sekarang? Apakah dia pergi tanpa sepengetahuanku? Ya ampun, aku terlalu malas untuk keluar dari kamar.

Setiap hari libur, aku hanya terkurung di kamar, merenung, bermain ponsel, dan tidur jika bisa. Tak ada kegiatan lain yang menarik minatku. Ketika bosan dengan ponsel, aku beralih membaca komik atau novel. Aku sering merasa heran dengan Ibu dan Ayah yang terus memberiku buku-buku itu, meskipun kadang-kadang, aku memang terjebak dalam halaman-halaman sastra yang mereka pilihkan.

Namun begitu, aku memilih untuk menerimanya tanpa banyak protes. Toh, menolak pemberian mereka rasanya tidak perlu. Aku beranjak dari kasur dan menuju pintu untuk mencari tahu apa yang sedang dilakukan Ibu. Dia tampak sangat sibuk, seperti biasanya.

Aku membuka pintu dan bergegas turun dari ruang atas. Di tengah tangga, aku melihat Ayah yang sibuk menonton TV dengan berbagai dokumen berserakan di atas meja. Ah, dia tidak berangkat bekerja? Atau dia sedang mengambil cuti?

"Ayah," panggilku dari atas tangga, suaraku menggaung sedikit di ruangan. Sambil menuruni anak tangga satu per satu, aku berjalan mendekatinya.

Dia menoleh, dan senyuman hangat segera terukir di wajahnya. "Hei, akhirnya anakku keluar dari tempat persembunyian. Bagaimana dengan bertapa? Lancar?" candanya.

"Apaan sih, Yah?! Aku serius," balasku sambil menuruni anak tangga terakhir.

"Hahaha, maafkan Ayah. Sini, duduklah dekat Ayah," katanya dengan senyum hangat. Aku pun berjalan mendekat dan duduk di sampingnya di sofa. Begitu aku duduk, Ayah langsung mengusap lembut rambutku. "Kau sudah sarapan? Kenapa terlihat begitu lemas?" tanyanya dengan nada khawatir.

Aku menggeleng pelan, "Aku sudah sarapan, tapi aku mengngantuk. Mau tidur juga susah, jadi aku memilih keluar saja dari kamar," jawabku dengan suara lesu.

Ayah berhenti membelai dan membalas lagi, "Ya sudah, tidur saja disini."

"Cih, mudah sekali untuk mengatakan itu," batinku dengan kesal. Namun, aku memaksakan senyum dan menjawab, "Tidak, lupakan saja hal itu. Tunggu sebentar, di mana Ibu? Kenapa dia tidak terlihat hari ini? Dan, mengapa Ayah tidak pergi bekerja? Biasanya, ketika aku bangun, kau sudah pergi lebih dulu."

Who Are You? (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang