09. Gangguan kecil

19 8 1
                                    

Setelah mendengar kabar yang mengejutkan, Ibu tetap menyuruhku untuk pergi ke sekolah. Masalah itu, katanya, adalah urusan Ibu dan Ayah saja.

Sekarang, aku berada di dalam mobil pribadi. Tante Ji-Eun mengantarku ke sekolah karena Ibu meneleponnya untuk meminta bantuan, sementara itu mereka pergi ke rumah sakit. Ayah juga mengambil cuti kerja setelah mendengar kabar bahwa mertuanya telah meninggal.

"Youngjae, jangan melamun," kata Tante Ji-Eun, langsung menyadarkanku dari lamunan saat aku sedang melihat ke luar jendela. Sejujurnya, aku merasa heran dengan kejadian kemarin saat aku sedang membaca komik. Masa ada setan di rumahku? Itulah sebabnya tadi aku tenggelam dalam pikiranku sendiri.

"Nanti pulang sekolah jam berapa?" tanya Tante Ji-Eun. "Karena Ibumu tidak mempunyai waktu untuk menjemput, biarkan Tante akan menjemput dirimu."

Mendengar niat baiknya itu, aku langsung membalas dengan jujur, "Nanti pulang jam setengah lima."

"Ya sudah, nanti Tante akan menjemput dirimu," balasnya dengan senang. "Sudah sarapan kah?"

"Tentu," balasku singkat. Sejujurnya, aku malas jika harus bersama saudara ibu. Namun, karena keadaan memaksa, aku tidak punya pilihan selain mengikuti kemauan ibu. Aku masih tidak percaya bahwa nenek meninggal pagi ini.

"Tante," panggilku karena penasaran. "Nenek sakit apa? Kenapa mendadak sekali memberikan kabar?"

Tante Ji-Eun tampak enggan mengungkapkan hal mengenai nenek, namun akhirnya ia memberitahuku semuanya. "Jangan sekali-kali memberitahukan informasi ini pada ibumu. Berjanji?" Ya ampun, ternyata basa-basi terlebih dulu.

"Aku janji," balasku dengan sedikit kesal.

Ia menghela nafas dulu sebelum berkata, "Nenek itu sebenarnya melakukan bunuh diri."

Mendengar itu, aku langsung tersentak. "Bagaimana Tante bisa menyimpulkan hal tersebut? Bagaimana Tante bisa mengatakan bahwa nenek melakukan perbuatan yang sangat dibenci oleh Tuhan? Tante jangan sembarangan berkata seperti itu."

Tante membela dirinya dengan tegas. "Siapa juga yang berkata sembarangan tentang tindakan terkutuk itu? Tante juga tahu bahwa hal tersebut sungguh tidak baik. Saat Tante mengunjungi rumah nenek, Tante menemukan nenek sudah terkapar di lantai dengan mulut dipenuhi busa dan leher membiru."

"Jadi, Tante yang awal mula melihat nenek terkapar di lantai?" tanyaku dengan penasaran. "Berarti menemukan Nenek saat kemarin sore?"

Tante membantah lagi, "Kemarin pagi, bukan kemarin sore. Lalu, apa maksudnya saat ibumu bilang bahwa kemarin bertemu dengan nenek? Apakah itu hanya imajinasi atau tidak?"

"Tante, aku juga kemarin bersama ibu mengunjungi rumah nenek. Aku yakin, kami bertemu dengan nenek dan sempat mengobrol," kataku dengan tegas, berusaha meyakinkan Tante Ji-Eun.

"Tapi, nenek kemarin sudah masuk rumah sakit," balas Tante masih tidak percaya. "Mungkin, kau dan ibumu hanya berhalusinasi saja."

"Ayolah, jangan menganggap aku gila! Jelas-jelas, aku bertemu dengan nenek dan sempat mengobrol dengannya," kataku dengan frustasi. "Jelas! Di depan mataku, ia tersenyum walau ada kerutan di wajahnya."

"Berhenti berdongeng, kita sudah sampai di sekolah," kata Tante Ji-Eun dengan nada tegas saat mobil berhenti. "Jam setengah 04:30 Tante akan datang dengan tepat waktu. Tante akan memegang janji sendiri."

"Terserah." Karena sudah terlanjur emosi, aku melepas sabuk pengaman dan turun dari mobil. Tanpa berkata apa-apa, aku membanting pintu dengan keras dan berjalan menjauh dari mobil.

Kenapa begini?! Aku bukan orang yang suka berbohong, tapi Tante menganggapku pembohong?! Ya Tuhan, ini benar-benar tidak adil! Rasa frustasi dan kesal terpancar jelas dari tatapan mata yang mendung. Aku merasa tersinggung dan terluka oleh tuduhan tidak adil itu, sementara dalam hati, kekecewaan dan kebingungan bergelora.

Who Are You? (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang