Bab 20

139 4 0
                                    

Hari ini, di jam istirahat pertama, ada tiga kelas yang berjualan: XI IPS 3, IPS 4, dan IPS 5. Meja-meja berjajar di lorong luar kelas, sebagian besar menjual makanan dan minuman. Mirip festival kuliner, tentunya dengan harga yang disesuaikan dengan kantong pelajar.

    Dari 25 kotak kraft: dua kotak rusak, tiga kotak dengan isi berantakan akibat terjatuh tadi, jadinya mereka hanya bisa menjual 20 kotak saja. Dan, kesemua kotak itu sudah laku terjual.

    Saatnya kelompok mereka menghitung uang yang didapat dan kemudian bagi hasil.

    “Kalian nggak usah menyertakan aku. Aku akan ambil ini saja.” Mona mengambil tiga kotak yang tersisa di atas meja.

    “Lho, nggak bisa gitu, Mon. Kamu udah masak, masa kamu nggak dapat bagian?” Uang di tangan Asti masih terulur di hadapan Mona.

    “Karena kesalahanku, kita nggak bisa menjual lima kotak.” Nada suara Mona penuh penyesalan.

    Diam-diam, Rheya melirik ke Mona. Tampaknya Mona baik-baik saja, jika melihatnya secara sekilas, tapi tidak, Mona tidak baik-baik saja. Ia masih melihat ada getar ketakutan dalam sorot mata Mona.

    “Udah ambil aja.” Rheya mengambil uang dari tangan Asti, melipat uang itu, memasukkan ke dalam saku seragam Mona, lalu ia mengambil satu kotak mi goreng.

    Mona terkejut dengan tindakan Rheya. “Buat kalian saja.” Suaranya terdengar lemah. Tangannya merogoh uang di saku seragamnya.

    Tangan Rheya menahan. “Ambil,” katanya tegas.

    Sedikit terkejut Rheya ketika tangannya menyentuh tangan Mona yang gemetar, namun ia berpura-pura tidak tahu. Di luar dugaan, Mona yang biasanya selalu ingin mencari masalah dengannya, kali ini menurut padanya. Matanya kembali melirik ke Mona. Semakin yakin ia dan semakin jelas bahwa Mona tidak baik-baik saja.

    Apa yang sebenarnya terjadi?

    Rheya tidak ingin kepo, tapi ia terlanjur melihat kondisi Mona yang tidak baik-baik saja. Akan aneh jika tiba-tiba ia mengorek kehidupan Mona. Mereka bukan teman akrab. Mereka selalu ribut. Mereka tidak akur.

    “Ada apa?” Fara melihat Rheya duduk termenung sambil menatap mi goreng dalam kotak kraft tanpa selera, saat jam istirahat siang di kantin.

    Pinot yang duduk di sebelah Rheya—makan mi goreng pemberian Rheya dengan lahap, menoleh ke Rheya sekadar memastikan wajah Rheya. Ternyata wajah Rheya terlihat lesu.

    “Iya, nih.” Eri mulai berdeduksi setelah melihat wajah lesu Rheya. “Seandainya aja lima kotak masih utuh, cuan yang didapat lebih banyak. Rheya kan, bisa traktir kita es teh jumbo.”

    “Harusnya jual lima puluh kotak. Keuntungannya dua kali lipat. Kalian mau apa, aku beliin.” Rheya memasang gaya bossy.

    “Duitnya aja belum ada, udah ngayal yang nggak ada.”

    “Tuh, kan.” Eri mencibir. “Fara tuh nggak bisa lihat kita senang. Selaaa~lu ada yang diprotes. Menyenangkan hati teman itu pahala lho, Fa.”

    Rheya mengangguk setuju dengan ucapan Eri. Fara ini paling bisa mematahkan dunia khayal mereka. Mereka seakan dilarang berkhayal terlalu berlebihan. Iya sih, maksudnya Fara tentu saja baik, kalau jatuh pasti sakit.

Best MateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang