Alvaro
Akhirnya setelah dibujuk setengah dipaksa sebenarnya, Bianca bersedia untuk menjadi modelku. Setelah membaca selembar kertas tentang lomba fotografi yang hadiahnya tidak bisa aku lewatkan begitu saja, entah kenapa pikiranku mengarah ke Bianca ketika di sana tertera bahwa foto-foto yang dilombakan adalah pemandangan Italia beserta seorang perempuan yang menjadi objek utamanya.
Ketika pertama mengutarakan apa yang ada dalam pikiranku kemarin, dengan serta merta Bianca menolaknya. Dia beralasan bahwa dia tidak ingin menjadi model atau apa pun sejenis itu. Bahkan dengan bantuan Robert yang mengeluarkan jurus mautnya untuk merayu, hal itu tidak membuat Bianca menerima tawaran ini.
Hanya satu yang bisa membuatnya luluh dan mau mengikutiku sekarang. Aku hanya menyebut nama Devan. Lelaki yang dicintainya itu. Aku mengancamnya tidak akan membantunya menemukan Devan jika dia tidak membantuku.
Sebenarnya bisa saja aku mencari model lain untuk lomba ini. Tapi aku tak ada waktu untuk itu. Deadline lombanya akan berakhir dua minggu lagi. Dan aku tak akan membuang kesempatan ini begitu saja. Tentu saja siapa yang tidak akan tertarik dengan hadiah yang dimenangkan dalam perlombaan ini. Sang pemenang akan dikirim ke New York dan berkesempatan besar menjadi fotografer profesional.
Saat ini kami sudah berada di destinasi pertama, Colosseum. Bangunan kuno berbentuk melingkar itu menjulang dengan gagahnya. Reruntuhan bangunan di dalam colosseum menjadi saksi bisu sejarah kejayaan abad silam.
"Wah, ini menakjubkan!" pekik Bianca seperti anak kecil yang mendapati barang yang diinginkannya.
Aku mengikuti langkah perempuan itu yang masih tampak terpukau dengan bangunan ini. Bangunan yang terbentuk dari batu-batu besar memang tampak kokoh dan pastinya membuat decak kagum siapa saja yang melihatnya.
Bangunan yang mampu menampung hingga 60.000 orang ini dipenuhi lubang-lubang di setiap sisi.
"Mengagumkan! Aku merasa kecil berada di sini," seru Bianca.
"Ya, kita memang kecil di dunia ini."
Dia menoleh dan menabrak mataku. Salah tingkah aku dibuatnya.
"Oke, ini waktunya!" seruku.
Dahinya berkerut samar. Aku menaikkan alis dan memamerkan senyum simetris. Dia mendesis pelan.
"Jadi aku harus bagaimana sekarang?" tanyanya.
"Bergaya seperti model, tentu saja."
Dia mendengus dan mengerucutkan bibirnya beberapa senti. Tampak kesal, tapi berusaha membuat gerakan seperti model-model yang mungkin pernah dilihatnya. Aku membidikkan lensa kamera yang daritadi hanya menggantung di leher padanya.
"Kau terlihat kaku," ucapku.
"Sudah aku katakan kalau aku tidak berbakat jadi model!" serunya dengan nada tinggi.
"Kau sudah sepakat. Berusaha sedikit demi Devan-mu itu!"
Dia menarik napas lalu mengembuskannya dengan perlahan. Dengan tampang terpaksa dia mencoba lagi. Bagiku itu tidak ada bedanya dengan yang tadi.
"Ah, aku bahkan tidak suka difoto!" serunya, kali ini dengan nada frustrasi.
"Baiklah, lakukan saja apa yang kau mau."
Sepertinya tidak mungkin memaksanya menjadi model untuk lomba ini. Aku menoleh padanya. Dia menyentuh batu-batu besar itu dengan tangannya perlahan. Dengan refleks aku memotretnya. Aku tahu sekarang. Dia akan tetap menjadi modelku dan dia tidak perlu melakukan gaya apa pun. Hanya seperti biasanya. Senatural mungkin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken
RomanceBianca sangat percaya dengan janji Devan walaupun orang di sekelilingnya meragukan hal itu. Sampai di satu titik dia mulai merasa ragu, tapi tak membuatnya berhenti berharap. Dengan keyakinan penuh, akhirnya Bianca terbang ke negara dimana Devan ber...