Recognition

352 18 2
                                    


Bianca

Kemarin aku mendengar pengakuan yang membuatku terkejut. Alvaro menyatakan perasaannya padaku. Cinta. Dia belum seratus persen meyakininya tapi dia tidak bisa mengelaknya lagi. Itu yang dikatakannya.

"Bianca, biarkan aku seperti ini untuk sebentar saja."

Aku menelan ludah. Orang-orang memandang kami penuh rasa ingin tahu. Aku tak tahu harus berbuat apa. Ada perasaan nyaman saat lelaki ini memelukku.

"Bianca!" bisiknya memanggilku.

"Hmmm?"

"Bagaimana kalau aku mencintaimu?"

Deg! Aku terperanjat mendengar pengakuannya. Oh, itu belum bisa disebut pengakuan. Dia hanya bertanya. Dan jujur saja aku tidak tahu apa yang harus aku jawab atas pertanyaan anehnya itu. Memang aku merasa jantungku selalu berdebar-debar, tapi untuk jatuh cinta padanya itu tidak mungkin. Aku memiliki Devan yang aku cintai.

"Kau hanya bercanda," ucapku akhirnya.

"Tidak, aku tidak bercanda. Aku tidak tahu kenapa aku bisa seperti ini dan sejak kapan aku merasakannya, tapi inilah yang aku rasakan padamu."

Dia melepaskan pelukannya dan membalikkan tubuhku agar menghadap kepadanya. Matanya menyapa mataku dengan lembut. Ada kesungguhan yang bisa terbaca dari matanya.

"Bukannya kau mencintai Vanessa?" tanyaku.

Dia menegang, seperti tersadar akan sesuatu. Aku tersenyum samar padanya. Dia sepertinya hanya terbawa suasana.

"Aku tidak tahu," jawabnya ragu.

"Kau masih mencintainya?"

Dia hanya terdiam dan tetap menatap mataku.

"Al, kau tidak mungkin mencintai dua orang sekaligus."

Ya, begitu juga denganku. Mana mungkin aku mencintai Alvaro ketika di saat yang sama aku mencintai Devan.

"Tapi aku tidak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya, pada Nessy pun aku tak merasakan nyaman seperti saat bersamamu."

Aku menelan ludah. Aku tidak mungkin bisa membalas perasaannya.

"Aku mencintai Devan!" seruku dengan lantang.

Dia tertegun. Terdiam beberapa lama lalu menundukkan kepalanya.

"Mungkin aku harus patah hati lagi," ucapnya lirih.

Dia sekarang sedang mengurung diri di kamarnya. Alasannya dia akan sibuk mengedit dan mengirim foto untuk perlombaan yang diikutinya. Tapi aku yakin bahwa alasannya yang lain karena ingin menghindariku.

Untuk mengusir rasa jenuhku aku pun menelepon Mama yang sudah sering mengirimku pesan agar memberinya kabar.

"Hallo, Sayang! Akhirnya kau angkat juga teleponmu." Suara Mama terdengar lega di seberang sana.

"Ma, apa kabar?"

"Kabar Mama kurang baik."

"Kenapa? Mama sakit?" pekikku cemas.

Mama terkekeh di sana. Aku mendengus. Orang khawatir malah ditertawakan.

"Mama baik-baik saja dan merindukanmu, Sayang."

Aku menarik kedua sudut bibirku. Mama memang seperti itu. Walaupun usiaku sudah menginjak usia dua puluh tiga tahun, Mama terkadang memperlakukanku seperti anak kecil. Mungkin karena aku adalah anak tunggal.

Broken Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang