Promise

363 18 0
                                    

Bianca

Pengalaman pahit itu menyakitkan. Terkadang ketika terbayang apa yang telah terjadi hati ini masih terasa nyeri. Dan ketika Alvaro memintaku untuk menunggunya, jujur saja aku teringat dengan Devan kembali. Dulu pun dia pernah memintaku untuk menunggunya dan berjanji akan datang, tapi pada kenyataannya janji itu hanya tinggal janji.

Itu memang bukan kesalahannya. Kalau saja kecelakaan itu tidak pernah terjadi, mungkin saja Devan akan kembali padaku dan menepati janjinya. Semua sudah menjadi takdir yang digariskan Tuhan. Bahkan Tuhan telah memberiku seseorang yang mungkin jauh lebih baik.

Awalnya aku merasa ragu atas permintaan Alvaro yang memintaku untuk menunggunya. Aku merasa takut hal yang sama bisa terulang lagi, atau apa pun kasusnya aku takut Alvaro pergi dariku. Tapi melihat kesungguhan atas perasaannya itu hatiku luluh, terlebih dia sempat memilih untuk tidak pergi karena aku.

Dan benar saja keputusan yang aku ambil waktu itu memang tidak salah. Alvaro sudah berada di New York selama hampir sebulan. Dia rutin menghubungiku walaupun aku tahu dia sibuk.

"Hei, kau melamun?" seru Alvaro lewat skype.

Aku langsung terlempar pada waktu sekarang. Alvaro mengangkat sebelah alisnya. Menunggu jawabanku.

"Aku tidak melamun," sahutku setelah beberapa saat terdiam.

"Oh ya?"

Aku mengangguk lalu tersenyum.

"Bian, aku harus bersiap-siap ke studio," ucapnya sembari melirik jam yang berada di nakas tempat tidurnya.

"Baiklah, aku juga akan tidur."

"Aku merindukanmu."

"Aku juga merindukanmu."

Aku segera mematikan laptop setelah sambungan terputus lalu merebahkan tubuhku di atas tempat tidur. Setiap kali melakukan hal itu rasanya aku kembali seperti remaja yang sedang jatuh cinta.

Aku merindukannya dan dia pun merindukanku. Rindu kami terhalang jarak. Aku tidak tahu kapan Alvaro akan ke Indonesia lagi, mengingat dia baru sebulan di sana dan selalu sibuk. Mungkin untuk melepas rindu ini tidak harus Alvaro yang kembali ke Indonesia. Aku pun bisa menyusulnya ke New York.

***

Keesokan harinya aku memutuskan untuk pergi ke New York. Kali ini kepergianku tidak dilarang oleh kedua orangtuaku dan juga Tera. Mereka malah mendukungku.

Sengaja aku tidak memberi tahu Alvaro tentang kedatanganku ke sana. Aku ingin memberinya kejutan. Dan aku harap dia akan senang dengan kedatanganku. Untung aku sudah tahu alamat studio Alvaro di sana. Dia memang pernah memberitahuku dari pertama kali tiba di sana.

Aku melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Menyeret koper kecil di antara orang-orang yang lalu lalang. Setelah mendapatkan taksi, aku segera menyerahkan secarik kertas yang berisi alamat studio Alvaro. Ini seperti kejadian dulu. Aku harap kisah kali ini akan indah daripada sebelumnya.

Setelah hampir setengah jam dalam perjalanan, taksi yang aku tumpangi berhenti di depan sebuah bangunan yang modern. Setelah membayar ongkos, aku berdiri sejenak di depan bangunan itu. Bangunan itu tidak tampak seperti sebuah studio. Itu seperti sebuah café. Perasaanku mulai tidak enak.

Dengan rasa yang penuh penasaran aku memasuki tempat itu. Benar saja tempat ini hanyalah sebuah café.

"Silakan masuk!" seru seorang pelayan mempersilakan aku masuk karena hampir beberapa saat berdiri. Aku berjalan dengan ragu dan duduk di salah satu kursi yang berada di sudut café. Sang pelayan menanyakan pesananku. Aku memandang ke sekeliling dan tidak ada tanda-tanda adanya sebuah studio foto.

Broken Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang