02. Cahaya di Tengah Bayangan

20 9 0
                                    

Pagi itu, ruang OSIS di SMA Kusuma Bangsa masih sunyi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pagi itu, ruang OSIS di SMA Kusuma Bangsa masih sunyi. Cahaya matahari pagi yang menerobos jendela memberikan kehangatan lembut, tetapi tidak cukup untuk mengusir suasana dingin dan tegang yang melingkupi ruangan. Gavin Tanumihardja, yang baru saja tiba, meletakkan tasnya di kursi, menghela napas panjang seakan mencoba menenangkan pikirannya yang berkecamuk. Wajahnya menampakkan kelelahan, meskipun ia berusaha menyembunyikannya dengan sikap tenangnya yang biasa.

Di sudut ruangan, Martin, sahabatnya, tengah sibuk menatap layar laptop, mengetik sesuatu dengan cepat. Suara ketukan keyboard seakan menjadi satu-satunya tanda kehidupan di ruang OSIS yang sunyi itu. Martin mendongak sebentar, menyadari kehadiran Gavin.

“Pagi, Gav. Kamu kelihatan nggak seperti biasanya,” ucap Martin sambil menutup laptopnya, menatap Gavin dengan pandangan penuh perhatian. “Ada apa?”

Gavin hanya menatap meja di depannya, seolah sedang mencari jawaban di antara benda-benda mati di sana. Hening sejenak sebelum akhirnya ia menjawab dengan suara yang hampir berbisik, “Aku cuma... lagi banyak pikiran.”

Martin terdiam, menunggu Gavin melanjutkan. Ia tahu sahabatnya ini bukan tipe orang yang mudah berbagi masalah, tetapi ketika Gavin memilih untuk berbicara, Martin tahu bahwa itu berarti ada sesuatu yang cukup serius. Benar saja, setelah beberapa saat, Gavin membuka suara lagi.

“Kamu ingat waktu kita kelas 10, kan?” Gavin bertanya tanpa menoleh. "Saat aku baru pertama kali masuk sekolah ini... semuanya terasa asing. Aku masih nggak kenal siapa-siapa."

Martin mengangguk, mencoba mengingat. “Iya, tentu saja. Itu hari-hari yang sulit buat kamu.”

Gavin tersenyum tipis, namun senyuman itu terasa getir. Ia tenggelam dalam pikirannya, memutar kembali memori yang sudah lama terkubur—memori yang penuh dengan rasa tidak nyaman, rasa takut, dan kekaguman yang baru mulai ia pahami.

####

Dua tahun yang lalu

Saat Gavin baru duduk di kelas 10, ia adalah siswa baru di SMA Kusuma Bangsa. Meskipun datang dari keluarga terpandang, dengan ibunya sebagai wakil kepala sekolah, Gavin tidak pernah merasa nyaman dengan perhatian yang ia terima. Hari itu, langit sore sedikit mendung, dan ia berdiri di depan gerbang sekolah, menunggu jemputan yang tak kunjung tiba. Ia merasa kesepian, meskipun di sekelilingnya masih ada siswa-siswa yang lalu lalang.

Ayahnya, Pak Richard Tanumihardja, sedang berada di luar kota untuk urusan bisnis, sementara ibunya, Ibu Raisa, sibuk dengan acara pelatihan di luar sekolah. Gavin sudah terbiasa dengan kesibukan kedua orang tuanya, tapi sore itu ia merasa sedikit lebih kesepian dari biasanya.

“Sendirian, Gav?” Sebuah suara yang familiar terdengar dari belakangnya. Gavin menoleh, dan di sana berdiri Farel Wongso, teman sekelasnya. Farel mengendarai sepeda motornya, jaket denim kasual membalut tubuhnya, dan helm setengah terbuka yang memperlihatkan senyum santainya. “Kamu nunggu jemputan, ya?”

Melody Of Lunestar (GeminiFourth)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang