09. Awan Gelap yang Memudar

4 1 0
                                    

Siang itu di kantin sekolah, suasana yang biasanya dipenuhi canda tawa terasa sangat berbeda

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Siang itu di kantin sekolah, suasana yang biasanya dipenuhi canda tawa terasa sangat berbeda. Gavin duduk di meja bersama Martin dan anggota Aurora lainnya—Daniel, Evan, Willy, Indra, dan Satria. Keheningan yang berat menggantung di udara, tidak ada percakapan riang seperti biasanya. Semua orang tampak kikuk, meskipun sesekali mereka melirik ke arah Gavin yang duduk diam, matanya terus mencari sosok yang selama ini mengisi harinya dengan tawa—Farel. Namun, Farel memilih untuk duduk sendirian di sudut kantin, menghindari tatapan Gavin, seakan ada tembok tak terlihat yang memisahkan mereka.

Melihat situasi itu, Martin mencoba memecah keheningan yang canggung. "Kalian tahu kan, Farel dan Gavin sudah putus?" ucapnya dengan nada datar, cukup keras sehingga semua yang duduk di meja bisa mendengarnya.

Sontak semua menoleh ke arah Gavin, sebagian dengan ekspresi bingung, sementara yang lainnya penuh simpati. Gavin hanya bisa menunduk, tak mampu berkata-kata. Kata ‘putus’ itu terasa seperti tamparan keras yang kembali memunculkan rasa perih di dadanya setiap kali diucapkan.

Willy, yang duduk di sebelah Evan, mengangkat bahu dengan canggung. "Kupikir mereka cuma bertengkar biasa. Nggak nyangka sampai benar-benar putus."

Evan, yang biasanya ceria dan selalu menjadi sumber energi positif di grup, hanya bisa menggeleng lesu. "Iya, susah sih... tapi, apa boleh buat."

Keheningan kembali menyelimuti meja mereka. Gavin tahu bahwa teman-temannya ingin berbicara lebih banyak, mungkin ingin menghiburnya, tetapi tak ada yang tahu harus mulai dari mana. Di dalam hatinya, Gavin merasa terjebak dalam perasaan bersalah yang mendalam. Ia ingin memperbaiki semuanya, tetapi rasa takut dan kebingungan terus menghantuinya. Setiap langkah yang ia ambil terasa salah, dan semakin ia mencoba mendekat, semakin jauh Farel sepertinya melangkah menjauh.

Saat pelajaran olahraga dimulai, ketegangan semakin terasa. Mereka berada di lapangan basket, bagian dari kelompok yang sama, tetapi seolah hidup di dunia yang berbeda. Setiap kali Gavin mencoba mencari celah untuk berbicara dengan Farel, Farel dengan sengaja menjaga jarak. Ketika bola basket berhenti tepat di depan kaki Gavin, Farel yang seharusnya mengambilnya malah membiarkannya, memilih bola baru dari rak. Isyarat itu jelas, Farel tidak ingin ada interaksi sama sekali.

Hati Gavin terasa semakin hancur. Ia memandangi Farel dengan campuran rasa sedih, bingung, dan penuh penyesalan. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, tetapi setiap kali ia hendak membuka mulut, kata-kata terasa tersangkut di tenggorokannya. Ia merasa seolah dinding yang memisahkan mereka semakin tinggi, semakin tebal, dan ia tidak tahu bagaimana caranya menembusnya.

Sepulang sekolah, Gavin tak ingin menunggu lebih lama lagi. Ia tahu bahwa jika ia tidak segera bertindak, ia mungkin akan kehilangan Farel untuk selamanya. Dengan hati yang penuh kegelisahan, ia memutuskan untuk menunggu Farel di atap gedung sekolah—tempat yang biasa mereka datangi untuk berbicara dari hati ke hati. Tempat itu menyimpan banyak kenangan manis mereka berdua, dan Gavin berharap, mungkin, kali ini tempat itu bisa menjadi saksi dari rekonsiliasi mereka.

Melody Of Lunestar (GeminiFourth)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang