Pagi itu, suasana di SMA Kusuma Bangsa terasa berbeda. Sejak pertemuan di taman kemarin, Gavin dan Farel merasa sedikit canggung setiap kali mereka bertatap muka. Tatapan yang biasanya dipenuhi keakraban kini diiringi dengan senyum-senyum malu yang tak bisa mereka sembunyikan. Perasaan aneh melingkupi keduanya-sebuah campuran kebahagiaan, kegelisahan, dan ketegangan yang sulit dijelaskan. Mereka berusaha tetap bersikap seperti biasa, tetapi ada sesuatu yang berubah di antara mereka.
Langit cerah menyinari pagi itu, dan sinar matahari menerobos dedaunan pohon yang rindang, menambah kesan tenang di sekeliling sekolah. Namun, ketenangan ini tidak tercermin dalam hati Gavin dan Farel. Mereka berjalan bersama menuju kelas, tetapi keheningan yang biasanya nyaman kini terasa sedikit kaku. Farel menatap ke depan, sementara Gavin sesekali melirik ke arah sahabatnya, ingin mengatakan sesuatu tetapi tidak tahu harus mulai dari mana.
Perasaan canggung itu akhirnya memuncak ketika mereka tiba di koridor dekat kelas. Farel, yang tidak suka perasaan canggung berlarut-larut, berhenti sejenak dan berbalik menghadap Gavin. Tatapan matanya tajam, namun dengan senyum nakal yang khas.
"Kamu terlalu manis, Gav," katanya tiba-tiba, setengah menggoda namun penuh kejujuran. Ucapannya diiringi tawa kecil, berusaha mencairkan suasana yang sedikit tegang di antara mereka.
Gavin tersipu dan hanya bisa tertawa kecil, menundukkan kepalanya karena malu. "Aku nggak tahu harus bilang apa..." gumamnya pelan, merasa canggung dengan kejujuran Farel yang datang begitu saja.
Melihat Gavin yang begitu malu, Farel mendekat, mencoba melonggarkan ketegangan di antara mereka dengan nada bercanda. "Lihat, kamu bahkan nggak bisa menatapku sekarang! Kalau begini terus, kita nggak akan pernah bisa bicara dengan normal."
Tawa Gavin pecah lebih lepas kali ini, meski masih ada sedikit rasa malu yang menggelayuti. Ia mengusap tengkuknya yang mendadak terasa panas. "Iya, mungkin kamu benar. Aku masih belum terbiasa dengan semua ini."
Farel menatap Gavin dengan senyum lebar, merasa lega karena setidaknya ketegangan di antara mereka mulai mencair. "Ya, kita harus lebih santai. Kalau terlalu kaku, nanti malah makin nggak nyaman, kan?"
Mereka melanjutkan perjalanan ke kelas, dengan suasana yang sedikit lebih ringan. Namun, tetap saja ada perasaan yang menggantung di antara mereka, sesuatu yang belum mereka temukan cara untuk mengekspresikannya dengan jelas. Keduanya sama-sama tahu ada hal yang berubah di antara mereka sejak syuting video musik kemarin, tetapi mereka belum siap untuk membahasnya secara terbuka.
Saat waktu istirahat tiba, mereka berdua duduk berdampingan di kantin sekolah, seperti biasa. Kali ini, suasana lebih tenang, meskipun Gavin masih merasa canggung. Ia tidak tahu harus mengatakan apa, dan setiap kali mencoba membuka mulut, kata-kata terasa tertahan di tenggorokannya. Farel, di sisi lain, menikmati makanannya dengan santai, namun matanya sesekali melirik ke arah Gavin, seolah menunggu Gavin untuk mulai bicara.
Melihat Gavin yang masih terlihat kaku, Farel akhirnya menghela napas pelan dan menatap sahabatnya. "Gav, kenapa kamu masih kelihatan tegang? Kita udah biasa ngobrol, kenapa sekarang malah jadi canggung begini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Melody Of Lunestar (GeminiFourth)
Teen FictionTerinspirasi dari cerita "My School President" dan "23.5", "Melody of Lunestar" mengisahkan perjuangan Farel, ketua klub idola sekolah Aurora, yang berusaha mempertahankan klub dari ancaman pembubaran. Di balik ketegangan ini, Gavin, ketua OSIS yang...