Pagi itu, suasana sekolah tampak cerah. Matahari bersinar lembut di antara pepohonan, menebarkan sinarnya ke seluruh lapangan yang mulai dipenuhi siswa. Namun, hati Farel jauh dari kata cerah. Sementara langkah-langkahnya menuju ruang klub Aurora terasa berat, pikirannya terus dipenuhi kebingungan dan kekecewaan. Ini seharusnya menjadi hari yang penuh antusiasme bagi grup mereka, Aurora. Mereka berencana mendaftar untuk audisi Idol Phase, kompetisi besar yang bisa mengangkat nama mereka ke panggung nasional. Tapi sekarang, semuanya tampak tidak pasti.
Di ruang klub, suasana juga tidak jauh berbeda. Semua anggota Aurora duduk dalam diam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Daniel duduk di pojok ruangan, memandangi tangannya yang kosong. Evan di sudut lain, menunduk sambil bermain-main dengan botol air mineral di tangannya, sesekali menghela napas panjang. Willy dan Satria juga tampak muram, mata mereka kosong seolah kehilangan arah. Setelah percakapan dengan guru Bimbingan Konseling (BK) kemarin, semangat yang mereka miliki untuk grup idola tiba-tiba pudar, tergantikan oleh kekhawatiran akan masa depan yang terasa semakin jauh dari mimpi mereka sebagai musisi.
"Apa gunanya ini semua kalau masa depan kita nggak jelas?" Daniel tiba-tiba memecah keheningan dengan suaranya yang penuh keraguan. Ia meletakkan tangannya di kepala, terlihat frustrasi. "Guru BK benar. Kita sudah seharusnya mulai serius mikirin masa depan. Kalau kita terus-terusan fokus di idol group, kapan kita belajar? Gimana nanti kalau gagal audisi? Kita bisa apa?"
Evan mengangguk pelan, pandangannya tetap tertuju pada botol air di tangannya. "Iya, benar. Aku juga mulai mikir, mungkin kita terlalu banyak buang waktu untuk sesuatu yang belum tentu bisa jadi karir. Semua orang bilang musik itu susah untuk jadi jalan hidup."
Farel, yang sejak tadi duduk mendengarkan, merasa dadanya sesak. Ia menatap teman-temannya satu per satu, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Mereka hampir sampai pada titik di mana mimpi mereka bisa terwujud, tetapi sekarang semuanya tampak seperti akan runtuh begitu saja. "Jadi kalian menyerah? Setelah semua yang kita lewati? Kita hampir sampai, dan kalian memilih untuk mundur?"
Tak ada yang menjawab. Keheningan menyelimuti ruangan, hanya suara detak jam dinding yang terdengar di antara mereka. Daniel, Evan, Willy, Indra dan Satria tidak bisa menjawab, seolah-olah kata-kata Farel mengingatkan mereka akan beban yang sudah terlalu lama mereka rasakan. Keadaan ini membuat Farel merasa semakin terasing. Seluruh dunia yang ia bangun bersama mereka tampak hancur perlahan di depan matanya.
Farel memandang mereka, matanya penuh amarah, kecewa, dan ketidakmengertian. "Kalian sadar, kan? Kita cuma butuh satu langkah lagi. Idol Phase bukan sekadar kompetisi biasa. Kita sudah berjuang sampai di sini, dan sekarang kalian memilih mundur?" suaranya semakin tinggi.
Satria yang sejak tadi hanya diam, akhirnya angkat bicara. "Farel, ini bukan soal menyerah. Tapi, kita harus realistis. Ujian sebentar lagi akan dimulai, dan aku... aku nggak yakin bisa bagi fokus antara idol dan belajar."
Willy mengangguk, mendukung pernyataan Satria. "Aku juga setuju. Aku nggak mau kita gagal di dua-duanya. Kita memang suka musik, tapi kita juga punya kewajiban untuk masa depan kita."
KAMU SEDANG MEMBACA
Melody Of Lunestar (GeminiFourth)
Teen FictionTerinspirasi dari cerita "My School President" dan "23.5", "Melody of Lunestar" mengisahkan perjuangan Farel, ketua klub idola sekolah Aurora, yang berusaha mempertahankan klub dari ancaman pembubaran. Di balik ketegangan ini, Gavin, ketua OSIS yang...