Aku kembali
Bersama gersang rasa di siang hari
Menatap lembut wajahmu, sejukkan gejolak hati
Wahai sang pujaan
Izinkan aku selalu di sisimu tuk menemani
Izinkan aku di depanmu tuk jadi tameng
dan, izinkan aku di belakang tuk berikan pelukan
Bukan menenangkan kamu,
tetapi tenangkan aku.
-Paul Aro-
Matahari telah merangkak sempurna tepat di atas kepala kita, bunyi Bel pulang sekolah juga sudah mengusir para siswa dari dalam kelas, meninggalkan Nabila yang masih sibuk melihat layar ponselnya.
Tama sudah rapi dengan jaket denim dan kacamata hitamnya, ia berhenti tepat di depan pintu karena baru menyadari bahwa seorang Nabila masih duduk di bangkunya.
"Nab, belum pulang?" tanya Tama melihat wajah gusar Nabila.
"Belum, Om Paul belum balas pesanku."
"Mau bareng aku aja?" Tama menawarkan jasa mengantar pulang Nabila.
"Enggak deh, Tam. Kamu duluan aja, kasihan Om Paul kalau udah perjalanan ke sini," tolak Nabila dengan senyum manisnya.
"Ayo aku temenin nunggu di depan." Kali ini Nabila menganggukan kepala.
Canda menyusuri koridor sekolah dengan mengiringi langkah Nabila dan Tama, akhirnya di hari pertama sekolahnya, Nabila bisa tertawa meski hanya di jam-jam sebelum pulang.
=========
Paul mengerjap, ia telah berjanji akan menjemput Nabila tetapi malah bersandar ke kursi dan membuatnya terlelap.
Segera ia membersihkan badan, membasuh muka, dan bersiap untuk menjemput Nabila.
Jalanan ini begitu lenggang, sambil menyanyikan lagu yang ditulisnya, Paul menikmati perjalanan menuju sekolah Nabila.
" Kau senang rancang masa depan..."
"Seolah akulah jawaban..."
"Tapi tidakkah kau sadari..."
"Di dalam hatimu, hatinya..."
Lirik lagu itu begitu menusuk hati siapa saja yang mendengarnya, tetapi ada yang menusuk penglihatan Paul saat ini.
Mobil yang dikendarai Paul berjalan perlahan, ia sengaja mengurangi kecepatan daripada sebelumnya karena di depan sana, ia melihat Nabila sedang bercengkrama dengan seorang laki-laki berseragam seperti Nabila.
Hal yang menjadi perhatian Paul, bukan tentang siapa laki-laki teman Nabila itu, namun tentang bagaimana Nabila bisa tertawa lepas, seakan gadis itu sudah lupa tentang apa yang membuat air matanya mengalir deras.
Paul memang ingin menjadi sosok yang menjadi penyebab Nabila tertawa, tetapi ia tidak ingin gadis itu mengusaikan tawanya segera. Jadi, dia membiarkan detik terlumat oleh gelak tawa yang meliputi Nabila sedikit demi sedikit, hingga mereda dan tersisa senyumnya saja.
Menyaksikan itu, Paul segera mendekat, bagian depan mobil tua miliknya yang segera tertangkap netra Nabila membuat gadis itu terkesiap, bangun dari duduknya, dan melambaikan tangan seakan menyambut hangat kedatangan Paul.
"Ya sudah Nabila, aku duluan, terima kasih sudah tertawa." Kalimat itu tertangkap indera pendengaran Paul ketika teman laki-laki Nabila berlalu meninggalkan Nabila tanpa menyapanya terlebih dahulu.
"Sudah nunggu lama?" tanya Paul, menghampiri Nabila sambil melirik ke arah punggung laki-laki yang tertutup ransel tidak sempurna itu.
"Lumayan sih Om, tapi tadi ditemenin Tama, jadi gak bosan deh," tutur Nabila riang namun berhasil membuat jantung Paul berdenyut.
"Tama? Ketua kelas?" Paul berusaha mengingat nama yang disebutkan Nabila, sembari mengajak gadis itu memasuki mobil tuanya.
"Iya, Om Paul masih ingat teman-teman Nabila?" tanya Nabila antusias ketika Paul berhasil menebak siapa Tama.
Paul mengendikan bahu, "hanya beberapa saja, sih." Kemudian menyalakan mobil dan membawa kendaraan itu untuk menjauh dari pelataran sekolah.
"Iya Om, Tama itu baik banget, bisa dibilang ketua kelas yang keren," jelas Nabila lagi.
"Nabila suka?"
"Iya," jawab Nabila dengan singkat.
Paul melirik ke arah gadis di sisi kirinya, "Nabila suka sama Tama?" tanyanya kembali, menekankan kata suka yang dimaksudnya.
"Iya Om..." Nabila menggantung kalimatnya sambil melirik ke arah Paul yang kini sudah memusatkan pandangan ke jalan. "Iya, tapi, Nabila suka sama sikap baik Tama, bukan suka sama Tama."
Paul menghela napas lega, "syukurlah," lirih Paul tetapi masih tertangkap indera pendengaran Nabila.
"Kenapa Om Paul bersyukur?"
"Ya, karena Nabila cuma suka sama sikap baik Tama, bukan suka sama Tama."
"Emangnya, kenapa kalau Nabila suka sama Tama?"
"Enggak boleh Nabila!" seru Paul reflek menggeleng.
"Kenapa gak boleh?"
"Nabila kan masih sekolah, jadi sebaiknya Nabila fokus dulu sama belajarnya. Kalau suka-sukaan di masa sekolah, nanti bisa mengganggu belajarnya loh!" tutur Paul menasehati sebagai manusia dewasa yang bijak.
Nabila tidak tahu saja, apa yang tersembunyi di dalam batin laki-laki dewasa yang menjemputnya itu.
"Oh Iya, gimana hari pertama Nabila masuk sekolah?"
Pertanyaan itu melebur dengan perputaran udara pendingin mobil, Nabila terdiam, ingatan tentang apa yang terjadi pada hari ini merayap, memenuhi isi kepala, seperti jaring laba-laba, satu persatu saling terhubung, menyayat ingatannya dan menorehkan perih dalam dada.
"Nabila?"
"Oh, seru, Om," jawab Nabila cepat. Air muka Nabila yang berubah seketika, berhasil menimbulkan tanda tanya di benak Paul Aro.
Ada apa dengan Nabila?
Apakah pertanyaanku menjadi alat penguap ekspresi bahagia yang sebelumnya dibawa masuk ke dalam mobil?
=============
Hy Saba Linz :)
Gimana, udah pada kangen belum dengan interaksi antara Nabila dengan Om Paulnya? :D
KAMU SEDANG MEMBACA
Semesta Mengirim Dirimu Untukku (SMDU)
FanficSebuah cerita yang masih satu galaksi dengan MMCDH, jadi baca dulu di sana untuk mengerti apa yang terjadi di sini. "Aku tidak pernah becanda soal rasa, Nabila," tutur Paul dengan lembut. "Pun aku yang tidak suka membangunkan praduga," tukas Nabil...