Ruang BEM U

76 18 9
                                    


Seperti retakan di tembok, terlihat tapi tidak dipedulikan. Arunika berpikir hidup yang ia jalani sama ironisnya dengan retakan yang menjalar di tembok ruang organisasi surat kabar. Kadang Arunika yang telaten menutupinya dengan cat lukisnya atau ia timpa dengan figura foto organisasi, batinnya sering terusik saat melihat retakan itu. Otto baru mengabari jika tulisannya mengenai demo tempo lalu sudah dia setujui dan beberapa jam lalu sudah di publish baik bentuk cetak maupun digital. Kendati begitu Arunika merasa masih haus untuk kembali menulis kritikan.

"Kak Otto? Mau kemana?" Arunika mengabaikan lamunan tidak pentingnya saat melihat Otto sibuk beres-beres hendak pergi

"Ngopi. Ngobrol." Otto menjawab seadanya, ia mungkin paham jika Arunika ingin ikut mengobrol dengannya sehingga lelaki itu menawarkan

"Mau gabung?" Arunika dengan kesadaran penuh segera mengangguk. Ia membereskan bawaanya yang tidak seberapa itu. Mengikuti langkah Otto menuju parkiran mobil. Ini kali pertama Arunika bergabung dengan Otto dan teman mengobrolnya, sejujurnya Arunika memiliki misi lain.

Memenuhi rasa penasarannya dengan kepribadian Otto. Katakan Arunika begitu tidak sopan saat meladeni rasa penasarannya ini, tapi Otto terlalu tertutup. Otto memang orang yang menjaga privasi hidupnya, tidak ada satupun anggota surat kabar yang mengetahui latar belakang Otto selain ia adalah mahasiswa hukum pidana yang begitu aktif beroganisasi. Siapa orang tuanya, apa pekerjaan orang tuanya, tidak ada yang tau.

"Bisa ngopi, Arunika?" Otto bertanya kembali saat keduanya sudah duduk siap di dalam mobil. Arunika mengangguk, ia karyawan sebuah kafe dan sudah menjadi hal biasa ia mengkonsumsi kopi hampir setiap hari.

"Ngopi sama siapa aja, Kak?"

"Anak BEM U Shota." Otto berbicara sembari memundurkan mobilnya, keluar dari area parkiran.

Arunika hampir merutuki kembali dirinya, kenapa pula ia harus ikut Otto hari ini? Kenapa tidak besok saja? Bertemu lagi dengan Shota adalah sebuah masalah besar. Lelaki itu mungkin akan merasa canggung atau malah malas saat melihat wajahnya hadir bersama Kak Otto.

Arunika ingin sekali meminta diturunkan di pinggir jalan sekarang juga, tapi ia tidak punya nyali sebesar itu mana lagi ia yang mau-mau saja ikut dengan Otto. Otto pasti akan langsung sebal jika ia bersikap kekanak-kanakan.

"Kak Otto baru kenal Shota ya?" Otto mengangguk

"Sejujurnya agak canggung punya temen nongkrong baru gini, tapi Shota anaknya lumayan seru diajak diskusi. Jadi aku gak ngerasa canggung terus-terusan." Lanjut lelaki Adinara tersebut, mungkin jarak kafe tinggal 5 menit lagi. Selama lima menit itu keduanya memilih untuk diam tidak saling bertanya.

Shota memiliki impresi yang bagus di dunia perkuliahan, gedung organisasi mungkin sekarang sudah makin sempit sehingga kadang-kadang Arunika mampu mendapatkan informasi mengenai Shota, lelaki itu secara terbuka mengizinkan orang lain tau latar belakangnya, cucu dari pemimpin daerah istimewa. Arunika tau jika kata-kata itu keliru, ia ingin memiliki keadilan dan hak untuk duduk-duduk bebas dimanapun jadi gosip mengenai nama Shota yang terdengar tidak sepenuhnya salah Arunika.

"Gosip menyebar seperti kuman" Otto membuka pintu sambil bergumam, Arunika tidak mengerti dan memilih untuk segera menyusul.

"Maksudnya?"

"Kamu denger akhir-akhir ini ada gosip anak BEM U melakukan tindak asusila?"

Arunika melotot terkejut, kenapa ia tidak tau gosip itu. Otto mendorong pintu masuk kafe, di ujung dekat sekat sudah ada Shota yang sibuk membaca buku. Lelaki itu mau bagaimanapun ia dianggap terbuka tidak serta merta menjadi benar-benar terbuka, Arunika menyadari itu dari buku yang Shota baca dilapisi sebuah cover yang bertujuan agar tidak ada yang tau apa sebenernya judul dari buku itu.

CRIMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang