.
.
Arunika merasa hari berganti dengan lamban, jum'at pagi Arunika sudah berada di ruang organisasi surat kabar. Hari jum'at identik dengan mata kuliah yang singkat, entah mengapa tapi memang begitu kenyataannya. Arunika bahkan hanya memiliki 1 mata kuliah pagi ini. Arunika menyapa beberapa rekan organisasinya, melirik jam dinding untuk melihat jika baru jam setengah sebelas pagi. Ruangan organisasi surat kabar tidak terlalu besar namun cukup luas untuk menampung 10 orang anggota organisasi sekaligus. Biasanya tiap anggota memiliki meja lipat minimalis untuk memudahkan mereka garap tulisan. Termasuk Arunika.Jika yang terbayangkan adalah ruangan apik dan modern dengan sekat meja dan kursi. Itu jelas salah sekali, tidak ada fasilitas sebagus itu untuk setiap ruang organisasi. Mau bagaimana kadang organisasi surat kabar sekalipun sering bertentangan dengan kebijakan kampus jadi masuk akal jika petinggi kampus enggan memperhatikan kami dengan baik. Semua organisasi memaklumi hal tersebut. Karena semakin kampus bertingkah apatis pada kami, semakin kami leluasa memberi kritikan tanpa terhalang hutang budi.
Sekitar 4 orang gadis anggota surat kabar bersama-sama meninggalkan ruangan. Salah satu dari mereka menegur Arunika
"Arunika, kami mau beli kopi di bawah. Mau nitip sesuatu?"
Arunika tersenyum, mengatakan jika ia tidak sedang ingin apapun. Tentu berterimakasih kepada si gadis yang telah menawarinya. Keempat perempuan itupun keluar. Arunika menatap kepergian mereka. Sebenarnya ada rasa canggung yang luar biasa di antara Arunika dan para gadis anggota organisasi surat kabar. Arunika merasa hubungan mereka memang profesional dan berdiskusi seperlunya. Arunika lebih dekat dengan teman kelasnya dibanding teman satu organisasi.
Mungkin, karena ia yang sibuk dan tidak sempat hang out dengan mereka, namun Arunika selalu menyempatkan diri berbaur untuk berdiskusi projek. Sepertinya itu belum cukup mem-bonding kedekatan mereka.
Arunika mengeluarkan kotak pensilnya, hari ini ia akan membuat outline design untuk cover bahan bacaan baru, sebenarnya ini bukan tugasnya namun anak yang bertanggung jawab di bidang ini, meminta bantuan Arunika karena ia sedang hectic merawat ibunya yang baru melahirkan.
"Yah, lupa beli penghapus."
Sepertinya keputusan Arunika untuk membeli penghapus di toko atk lantai satu gedung organisasi adalah keputusan yang harus ia sesali. Kakinya mendadak kaku saat mendengar empat teman organisasi yang mengobrol ringan di persimpangan tangga. Kenapa pula mereka mengobrol di situ? Tapi mungkin saja toko -semacam kampus mart yang menjual apa saja- sedang ramai dan antri panjang, memang biasanya seperti itu sehingga beberapa mahasiswa memilih menunggu di luar sampai toko sepi.
"Arunika itu keliatan kikuk banget deket kita."
"Iya, mungkin anaknya memang begitu?"
"Tapi dia sama Kak Otto deket banget. Bisa akrab"
"Haha iya, kayaknya Arunika itu emang tipe yang lebih suka bergaul sama cowok-cowok."
"Agak---apa sebutannya?"
"Apa? Pengen beda dari yang lain ya? Pick me."
"Ah iya, pick me. Bakal susah deh bergaul sama dia."
"Iya, bergaul sama pick me, menguras energi. Aku sih gak akan sanggup."
"Sama, aku juga. Biarin deh dia bergaul sama cowok-cowok aja."
"Untung Kak Otto orangnya gak aneh-aneh."
"Iya, gak kayak yang kena kasus baru-baru ini."
"Sssstt. Jangan ngomongin itu!"
"Ups. Maaf, cucu pejabat ya."
Kemudian Arunika tidak mendengarkan apapun lagi, karena ia memutuskan segera kembali ke dalam ruangan surat kabar. Perasaanya campur aduk. Arunika tidak terlalu terkejut jika ia akan menjadi bahan gunjingan seperti itu, namun tetap saja rasanya tidak nyaman dan cukup menusuk perasaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
CRIME
FanfictionLong Live Freedom!!! Arunika yang memiliki cita-cita hidup tenang tanpa gangguan nyatanya tidak bisa menahan diri untuk tidak mengkritik ketika melihat bagaimana sistem pemerintahan di negerinya mulai porak poranda. Arunika bukan anak pejabat, hidup...