chapter-1

15 0 0
                                    

  Pagi yang tenang, pikir Hatmo. Dalam balutan sarung kotak-kotak belel dan kaus singlet lecek, Hatmo sibuk membaca koran. Se-mug wedang hangat berteman iPad yang menanyangkan kiat-kiat menjadi suami dan ayah yang baik.

Hanum yang tengah menggoreng telur menatap malas pada Hatmo. Kalau tidak ingat durhaka terhadap suami, sudah Hanum tembalikan meja dan menjejalkan iPad berisik itu ke mulut Hatmo, saking bosan dan terganggunya Hanum akan tingkah Hatmo yang setiap hari mendengarkan kiat-kiat tidak berfaedah itu.

"Bu, ini anak-anak belum ada yang bangun?"

"Ibu juga heran Cu, nanti biar Ibu lihat."

Hanum menggaguk saja lalu kembali berkutat dengan masakannya. Bu Asih sendiri mengecilkan api dan meninggalkan masakannya yang hampir matang.

Baru bu Asih melewati meja makan, suara dari ujung tangga di lantai dua membuat tiga orang dewasa itu mendongak setelahnya dengan kompak geleng-geleng kepala.

"BU, KAOS KAKI BIAN YANG PUTIH DIMANA?"

Suara Bian menggelegar dari ujung tangga lantai dua. Dengan kemeja putih yang terpasang serampangan, celana seragam abu yang ketat, dengan rambut potongan pendek hasil pangkas mang Uut-tukang cukur depan gang.

"Berisik ari kamu!" Tangan kecil bertenaga kuda itu memukul tepat di kepala Bian yang tengah digaruk gatal karena lupa keramas.

"Sakit Mbak!" Bian mengusap-usap kepalanya dengan bibir dipoutkan seperti moncong bebek.

"Geleh teuinganan." Bita memukul pelan bibir tebal Bian lalu berlari menuruni tangga dengan tergesa.

"Sini kamu, siah!" Bian hendak mengejar sebelum tangan keriput milik bu Asih menarik telinganya.

"Ibu sudah siapkan seragam yang baru, kenapa Mas Sabian masih pake yang lama," bu Asih menggeret Bian tanpa ampun untuk kembali ke kamar.

Bita yang berhasil menjahili adiknya itu tertawa puas. Menarik satu kursi di samping kiri Hatmo, Bita langsung mendudukan diri dengan sisa tawanya. Apalagi adegan selanjutnya saat mata bulat Bita menangkap Bian yang di jewer bu Asih makin membuat Bita puas.

"Loh, Mbak Bita ada kelas pagi?" Hanum ikut bergabung dengan anak dan suaminya.

Masakan sudah siap semua di atas meja. Hanum menarik piring suami serta anak sulungnya mengisi dengan makanan hasil masak dirinya dan bu Asih.

"Engga, Bun. Mbak belum ada kelas sekarang, tapi kebetulan Mbak ada perlu buat beli buku yang kemarin kelupaan satu,"

"Ouh, iya-iya. Memangnya Mbak Bita mau pergi sama siapa jam segini sudah rapi," heran juga Hanum karena biasanya setiap tidak ada kelas pagi anak sulungnya itu biasa keluar saat sore, dimana matahari sudah tidak terlalu terik.

"Nanti sekalian ikut sama Ayah," Bita tersenyum cerah sambil menatap Hatmo yang masih membaca koran.

"Tidak mau Ayah mah, pasti ujung-ujungnya Ayah yang keluar uang,"

"Ish ..., Ayah mah!" Bita memasang wajah merajuknya. Hanum dan Hatmo sendiri malah terkekeh melihat tingkah si sulung.

"Ayah mu itu loh, Mbak, seneng godain kamu. Nanti juga Ayah pasti ngeburu-buru sambil teriak-teriak kesiangan,"

Hatmo yang mendapat sindirian halus dari sang istri hanya memasang wajah tidak mengerti. Mata bulatnya yang mirip dengan mata Bita itu menyorotkan binar polos.

"Haha ... emang Ayah code banget itu mah, Bun."

Pasangan orang tua-anak itu tertawa bersama sampai si bungsu datang membuat ketiganya menggelengkan kepala.

"Mas Bian ...!" Jerit Hanum penuh kekesalan.

Bian bersiap untuk berlari tetapi belum sempat kakinya melangkah, jeweran untuk kedua kalinya Bian dapat di telinga kirinya, Hanum bangkit segera saat melihat anak bungsunya bersiap kabur.

"Kamu ini sebenarnya mau sekolah apa mau jadi cover boy. Kalau memang tidak niat sekolah lagi biar Bunda ajukan pengenduran diri kamu hari ini juga."

***

Supra tua yang lampu depannya suka getar-getar selayaknya terkena terjangan gempa itu sudah terparkir apik di parkiran khusus murid. Helm bogo dengan logo Larva kuning menjadi ciri khas si pemilik supra juga sudah tergantung di spion.

Tas gendong hitam, kemeja putih rapi yang dimasukan kedalam celana seragam abu-abu, rambut kelimis hasil olesan minyak goreng, dasi abu-abu dengan atribut sekolah juga tidak lupa membelit leher jenjang Bian, kaki besarnya pun sudah terbungkus rapi dengan sepatu hitam yang minggu kemarin Bian rendam semalaman.

"Buset, rapi amat bro, kaya mau ikut pelantikan kabinet kerja,"

"Mulut lo, Nyong. Itu si Ian mau ikutan katakan cinta, kalau dandanan dia kaya gembel perempatan mana mau si neneng bandana kuning sama dia,"

"Mulut lo berdua lama-lama gue giles juga pake ulekan mbah Darmi!"

Dua teman Bian itu melotot tajam, walaupun salah satunya memeliki mata segaris yang mana tidak ada perubahan apa pun mau melotot ataupun tidak, malah membuat gelak tawa dari Bian dan Elan.

"Si Wasil udah tahu mata cuma seuprit masih belagu mau melotot," tangan besar Bian dengan tidak berperasaan menepuk-nepuk jok motor milik salah satu kakak kelas yang terkenal hobi adu jotos.

"Duh, Ian, tangan biadab lo jangan suka asal galpok gitu!" Wasil dengan wajah panik menarik tangan Bian. "Kalau yang punya tahu lo perlakuin jok motor kesayangan dia kaya gitu, bisa-bisa supra encok lu berubah jadi gule bakar!"

"Lebay lo!" Acuh Bian.

"Terserah lo, dah! Gue cuma mengantisipasi perzinahan yang mungkin terjadi,"

"Si Wasil masih pagi otaknya udah keganggu aja, bawa ke psikolog, Ian. Kasian kejiwaannya kalau dibiarin lama." Elan dengan dramatis menyeka air mata imaginer yang seakan-akan membasahi seluruh wajah.

"Yang ada gue yang butuh pertolongan ini mah!" Bian langsung berlalu meninggalkan dua temannya yang penuh drama itu.

"Anaknya Hatmo makin lama makin kaya anjing," kesal Elan.

"Sama ras kaya lo, Lan." Wasil pun ikut melenggang saat Elan masih mencerna kalimat yang Wasil ucapkan.

"Oalah anak Joryn, anjing, lo!" Elan langsung berlari untuk menerjang dua temannya yang sudah lari terbirit-birit sambil tertawa puas.

"Woy ... Hatmo ... Joryn ... berenti kalian!"

Pada akhirnya tiga remaja itu saling kejar-kejaran di koridor lantai satu sampai ke arah lapangan outdoor. Kalau saja tidak ada guru BK yang tengah berkeliling dapat dipastikan aksi kejar-kejaran itu tidak akan berhenti sampi salah satunya terjatuh.

"Kalian ini sudah jadi kelas 11, sudah jadi kakak kelas bukannya berlaku baik dan menjadi contoh untuk para murid baru, malah main kejar-kejaran sambil teriak-teriak."

Bian, Elan, dan Wasil digiring rotan panjang kesayangan milik guru BK laki-laki yang kerap anak murid panggil dengan sebutan pak Raden.

"Sekali lagi kalian ketahuan merusuh, saya tidak segan memberi hukuman berat,"

୨⎯ "BIANTARA" ⎯୧

Maaf untuk penulisan dan penyampaian yang terkesan berbelit, silahkan bubuhkan koreksi di kolom komentar, terima kasih.

Kamus HIHO;

- Ari = kaya buat tambahan kata aja (bingung bahasa indonesia nya apa)

- Geleh teuinganan = jijik banget (bukan dalam artian yang jahat, tergantung)

BIANTARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang