Hembus angin dingin menerbangkan helaian kehitaman itu, menabrakan diri pada permukaan kulit wajah yang bersemu merah, sedikit menggigil tapi juga mampu menghantarkan perasaan tenang dengan bisingnya mesin yang melaju di atas hamparan rel besi.
Perjalan panjang yang sudah ditempuh sejak subuh tadi membawa laju kereta melewati berbagai tempat sampai nanti berhenti pada stasiun tujuan.
Lepas. Dengan perginya kali ini Tara ingin kembali melepas. Seperti dua tahun lalu saat ia datang dengan kedua orang tuanya untuk tinggal di tempat baru.
Memulai semua dari awal lagi, memperkenalkan diri lagi, mengenal orang lagi, sekolah di tempat baru lagi, beradaptasi lagi, menghafal rute jalan lagi, mengingat jadwal les dengan para pengajar baru lagi, dan lagi-lagi-lagi untuk semua hal baru yang akan dimulai dalam beberapa jam kedepan.
"Om."
Suaranya terdengar seperti bisikan. Asrul sampai harus memasang pendengaran ekstra untuk menangkap suara Tara.
"Ada apa, Mas Ta?"
"Saya mau tidur sebentar, sepuluh menit lagi tolong bangunkan."
"Iya."
Asrul memerhatikan semua tingkah Tara, dari mulai Tara yang menutup kaca jendela, Tara yang menarik masker dari saku depan tas lalu memakainya, Tara yang membenarkan letak kacamata anti radiasinya, Tara yang menarik tudung hoodie untuk menutupi mata, dan Tara yang mulai menyandarkan kepalanya di sandaran kursi kereta lalu perlahan mulai terlelap dengan napas yang teratur.
Asrul tatap lembut semua yang ada pada diri Tara, anak majikannya yang malang, hidup dalam keluarga lengkap dan berkecukupan tapi begitu kekurangan.
Mas Ta, saya janji akan menemani perjalanan Mas Ta sampai berjumpa dengan bahagia, semoga Tuhan selalu memberkati dan melindungi Mas Ta.
Janji itu pernah Asrul ucapkan dalam hatinya dan tetap Asrul rekatkan dengan erat dalam kepalanya. Hidup Asrul sudah diserahkan seluruhnya hanya untuk Tara. Anak majikannya yang malang yang sudah Asrul rawat sejak hari pertama dunia menyambutnya.
Sepuluh menit sudah berlalu, tapi Asrul biarkan Tara untuk tetap terlelap. Pikirnya, biarkan saja kali ini Tara istirahat dengan benar, mengingat jam tidurnya yang buruk dengan aktivitas yang banyak pasti sangat melelahkan untuk tubuh ringkih Tara.
****
Satu minggu sudah Tara tinggal di rumah dan kota baru lagi. Asrul bilang asisten ayahnya sudah mengurus kepindahan Tara di sekolah baru jadi Tara hanya terima beres saja.
Di senin pagi, Tara pergi bersama Asrul untuk mengurus pembayaran dan mengurus jadwal di tempat les baru dengan beberapa jadwal yang sudah Asrul susun.
"Mas Ta, besok sudah bisa langsung datang ke sanggar tari yang kemarin, kata pengurusnya kalau Mas Ta berkenan bisa datang hari ini untuk mengurus formulir pendaftaran yang kemarin kelupaan,"
"Atur saja, Om yang jauh lebih tahu jadwal saya,"
"Iya. Karena kita hanya melakukan pembayaran dan penyesuaian jadwal les pasti tidak akan terlalu lama, kita juga masih punya waktu istirahat sekitar tiga puluh menit sebelum mendatangi sanggar kemarin,"
Tara hanya menurut. Toh, Asrul jauh lebih hafal semua jadwal Tara ketimbang dirinya sendiri ataupun orang tuanya, yang mana hari ulang tahun Tara saja tidak pernah ingat.
Mobil hitam itu kembali melaju setelah terhenti di lampu merah. Sesekali Asrul melirik Tara yang tengah duduk memangku laptop. Tara tidak sedang bermain game, pasti sekarang tengah mencari referensi materi pembelajaran kelas dua belas, atau mencari-cari informasi universitas yang bagus yang bisa diajukan sebagai pertimbangan kehadapan orang tuanya nanti.
***
Sebagai remaja yang hampir satu harinya dihabiskan untuk sekolah, belajar, les berbagai pelajaran dan bidang, sanggar tari, lalu kamar untuk istirahat, Tara tidak nyaman saat harus menghabiskan waktu untuk berbelanja seperti sekarang ini.
"Megantara, ada butuh sesuatu lagi?"
Tara lirik isi kantung belanja yang sebagian Asrul bantu bawakan. Buku tulis 4 pack, pensil 2 pack, pulpen biasa sampai yang berwarna ada 3 pack, penggaris, penghapus, stabilo berbagai warna, penanda buku, pensil warna, krayon, cat lukis, kuas.
"Cukup."
Wanita cantik itu menganggukan kepala, berlalu terlebih dahulu menuju kasir diikuti Tara dan Asrul yang sesekali memasang wajah geli.
"Mas Ta, setelah ini kita bisa langsung kembali."
Entah sadar atau tidak, tetapi ada binar bahagia yang Tara pancarkan. Asrul terkekeh kecil dalam hati. Pasti mas Ta sangat kelelahan, mengingat berbelanja dengan nyonya Abimanyu itu seperti orang yang akan membuka toko alat tulis saja.
****
"Saya Megantara, pindahan dari Bandung,"
Tanpa menunggu pertanyaan dari teman-teman barunya atau instruki guru muda yang duduk di kursi, Tara membungkuk sedikit lalu berlalu menuju meja paling belakang yang hanya diisi dirinya seorang.
Di jam istirahat beberapa siswa mulai mengerubungi meja Tara. Sekedar berbasa-basi saja. Seperti menanyakan Tara tinggal di daerah mana, pindahan dari sekolah mana, kesannya selama setengah hari di sekolah baru, dan basa-basi lainnya.
Tara mencoba menanggapi, walaupun tidak semua dan dengan singkat saja, sampai kerumunan itu kembali membubarkan diri untuk mengisi perut ke kantin.
Sandes dan Jerrel, salah satu siswa di kelas Tara menariknya untuk ikut ke kantin, tapi Tara tentu menolak ajakan pergi itu. Ternyata, Tara yang keras dan anti sosial dapat digeret dengan mudah, sampai akhirnya Tara mendudukan dirinya di kursi panjang kantin dengan dihimpit dua teman barunya yang tinggi besar.
Obrolan ringan mengalir begitu saja, Tara juga selalu diseret dalam pembicaraan itu, walaupun hanya ditanggapi anggukan, gelengan, deheman, dan sesekali jawaban singkat.
Setidaknya, Tara sedikit beranjak dari dunianya. Seperti yang Asrul wanti-wanti semalam, Tara harus bisa membuka diri dan berbaur dengan orang.
***
Tara berdiri disamping mobil yang terparkir tepat di depan gedung dua langai yang akan menjadi tempat les barunya.
"Saya kira setelah mendapat tempat baru, saya tidak akan menyambangi tempat seperti ini lagi,"
Di sini Tara sedang belajar. Belajar cara menyesuaikan diri. Belajar berteman. Belajar menerima orang baru. Dan belajar tentang banyak hal lagi.
"Mas Ta, senyum."
Tara dengan kaku menarik sudut bibirnya, tangan kanannya pun dengan patah-patah terangkat, menyambut sapaan heboh dari Sandes dan Jerrel yang ternyata sama-sama les di tempat yang sama.
Suasana sekitar yang sepi tapi asri membuat Tara tidak terlalu malu saat mendapati dua teman barunya yang malah meneriaki namanya dengan masih sambil melambai heboh.
"Manusia memang tidak sempurna, Sabian. Dan benar semua sudah sesuai poros, semua sudah sesuai andil Tuhan. Tetapi, saat Tuhan memiliki adil maka manusia memiliki penilaiannya sendiri."
Bantahan yang tidak sempat Tara kumandangkan sampai berakhir di sini. Tara tidak sempat berpamitan ataupun menerima permintaan maaf dari Bian yang sempat menyinggungnya.
୨⎯ "BIANTARA" ⎯୧
Maaf untuk penulisan dan penyampaian yang terkesan berbelit, silahkan bubuhkan koreksi di kolom komentar, terima kasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
BIANTARA
Fiksi Remaja"Manusia itu tidak ada yang sempurna, Megantara. kita semua sama, pernah berbuat salah, pernah menjadi pelaku, pernah juga jadi korban, semua setimpal dan berjalan sesuai porosnya." Katanya suata hari di sore yang hampir dijemput oleh malam. BOHONG...