Jam kosong dan Tara memang buka perpaduan yang sempurna. Tara sebagai orang yang dituntut harus terus belajar dan belajar. Tidak cocok dengan kehebohan dan kurusuhan anak kelas 11 IPS-2.
Tara itu selalu butuh kedamaian dan ketenangan. Anak-anak 11 IPS-2 itu selalu butuh hiburan dan tidak bisa kalau tidak berbicara dan heboh.
Diantara anak-anak IPS-2 Tara memang paling tidak cocok dengan Bian. Selain bertegur sapa saat tidak sengaja berpapasan di depan pagar rumah atau saat Bian dengan heboh meminjam alat tulis pasti keduanya lebih sering tidak terlihat berintraksi secara langsung.
Mengingat di jam kelima ini pak Samson berhalangan hadir dan hanya menitipkan tugas mencatat, Tara sudah siap mengeluarkan earphone dan ponsel.
Dunia rasanya sangat sunyi, walaupun mata sipitnya masih bisa menangkap kelakuan teman sekelasnya yang sudah mulai rusuh, tidak terkendali, dan banyak berbicara.
Earphone yang sengaja Tara pesan dengan kelebihan untuk meredam suara di sekitar yang memang tidak bisa Tara atur sesuka hati itu memang sangat membantu. Apalagi kalau teman satu kelasnya setara dengan perkumpulan ibu-ibu.
Disaat teman satu kelasnya sibuk menertawakan kelakuan tiga sekawan Bian, Elan, dan Wasil maka ada Tara yang sibuk menyalinan catatan dari buku paket.
Bisingnya suasana kelas 11 IPS-2 nyatanya menarik perhatian guru piket yang sedang berjalan-jalan mengawasi keadaan kelas.
Saat Bian dan Wasil tengah heboh-hebohnya saling beradu nada tinggi dan Elan yang dengan dramatis mendukung dengan menjadi suara dua dengan memukul-mukul meja guru mengikuti nada kedua temannya yang sudah berantakan. Pintu kelas yang sengaja ditutup rapat itu terbanting dengan keras menampilkan sosok garang guru piket berdarah batak yang brewoknya lebih tebal dari pada kumis pak Raden.
"Lapangan bawah sekarang juga!" Teriakan menggelegar milik pak Suhendro-guru piket-paling tidak menyenangkan itu membuat semua murid 11 IPS-2 kalang kabut. "Bubar jalan!"
Semua anak kelas 11 IPS-2 langsung berlari terbirit-birit meninggalkan kelas untuk langsung menuju lapangan bawah atau lapangan outdoor yang panasnya sangat menyengat.
Tara yang tidak memerhatikan kembali kelakuan teman sekelasnya, masih sibuk mencatat, sesekali mengangguk-anggukan kepala atau menggeleng sambil mendesah malas.
"Megantara Abimanyu!" Bentakan pak Suhendro tidak sama sekali Tara dengar.
Pak Suhendro yang geram langsung mendekat dan menarik satu earphone yang menyumbat telinga Tara. "Turun ke lapangan bawah sekarang juga!"
Tara yang tidak mengerti situasi mulai mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kelas. Kosong. Kelasnya yang sebelumnya ramai tiba-tiba kosong dan hanya menyisakan dirinya dan guru piket yang wajahnya sudah memerah marah.
Tara tutup buku paket dan merapikan buku catatan dan alat tulisnya. Menghela napas pasrah. Tara bangkit mengikuti instrupsi pak Suhendro yang sudah mengeluarkan tanduk imaginer dengan asap hitam tebal yang menguar.
Sampai di lapangan bawah, teman-teman satu kelasnya sudah banyak yang duduk-duduk di tembok pembatas setinggi paha yang biasanya digunakan untuk duduk di depan kelas.
Rasa-rasanya Tara ingin sekali mengamuk kalau bisa sekalian mengacak-acak wajah menyebalkan guru piket yang langsung mendamprat dan menghukum satu kelas karena kebisingan yang Bian dan teman-temannya lakukan.
Tersisa sekitar dua puluh menit lagi sebelum jam pelajaran berganti dengan pelajaran olahraga, tetapi satu kelas sudah lebih dulu dijemur hormat bendera karena mengganggu jam pelajaran kelas lain.
"Kalian semua hormat bendera sampai jam pelajaran selanjutnya!" Dengan nada ketus nan tajam, guru piket berkepala botak itu menepi sambil memerhatikan murid kelas 11 IPS-2 yang tengah dihukum.
Matahari tengah terik-teriknya, dengan Tara yang berdiri di barisan paling belakang, wajah tanpa ekspresinya tampak begitu muram, belum lagi kulitnya yang putih bersih karena jarang terjemur matahari mulai memerah dengan keringat yang membasahi tubuh.
Tanda bel pergantian pelajaran terdengar menggema di seluruh gedung sekolah. Guru piket memberi izin untuk anak kelas Tara kembali ke kelas dengan catatan tidak mengulangi kejadian yang sama.
Memangnya apa yang diharapkan dari kelas 11 IPS-2, kalau saja mereka semua mengenal ketenangan, saya tidak perlu memohon pindah kelas. Racau Tara dalam hati.
Sepertinya kesialan Tara tidak berhenti di sana. Pelajaran olahraga kali ini pun menggunakan lapangan outdoor dengan permainan bola besar. Saat teman-teman sekelasnya sibuk membuat tim dan menyiapkan lapangan, ada Tara yang duduk menepi di ujung lapangan yang rimbun pepohonan kersen yang tengah berbuah lebat.
Dalam terpaan angin sepoi-sepoi, Tara memejamkan matanya, sampai suara berisik Bian menghampirinya dengan penuh semangat.
"DEDE TARA ... MAS BIAN ISOMING ...."
Tara dapat melihat kaki panjang Bian mampu menghantarkan si pemilik untuk datang lebih cepat. Bian berhenti dihadapan Tara dengan napas ngos-ngosan. Tara sendiri hanya menatapnya aneh. Apalagi saat senyum lebar Bian muncul, seakan-akan terik matahari kalah terang dan silau dari cerahnya senyum Bian.
"Dede Tara, kita sparing futsal lagi, ya." Tara hanya menatapnya aneh apalagi saat Bian memasang wajah memohon dengan polosnya.
Tara tatap Bian dari ujung kepala sampai ujung kaki, walaupun Tara sendiri membutuhkan sedikit usaha, mengingat tinggi badannya yang lebih pendek dari Bian ditambah posisi Tara sekarang tengah duduk.
"Tidak." Tara menolaknya dengan tegas. Tetapi Bian masih bersikukuh memohon lewat tatapan polosnya.
"Kenapa? Gue tahu gue emang jago main futsal, tapi selama ini belum ada yang sampe bisa nembus pertahanan gue, baru lo doang sejauh ini. Jadi ayo kita sparing futsal lagi.
Tara memang pernah mendengar kalau Bian memang pemain paling diandalkan. Selain cara bermain dan menyerangnya yang baik, pertahanan Bian juga salah satu yang terkuat.
"Saya tetap tidak mau,"
Penolakan itu berbuah senyum kecil dari Bian. Tara tidak tahu setelah ini apa yang akan remaja laki-laki perbuat.
Setelah mendapat penolakan untuk kesekian kalinya. Bian kembali berlari kearea lapangan tempat teman-temannya.
Tara dapat melihat Bian yang kembali tertawa dengan puas saat berhasil menjahili Robi, teman satu kelasnya yang hobi bengong. Bian menarik karet celana bagian belakang Robi lalu melepaskannya dengan sekali hentak sampai si empunya celana terlonjak kaget.
Robi yang kesal dan kaget langsung mengejar Bian yang berlari sambil tertawa kegirangan. Teman-temannya yang lain turut menepi sambil menonton aksi kejar-kejaran dua lelaki remaja berbeda tinggi badan itu.
"Sudah tahu kaki Sabian panjang, masih saja berniat main kejar-kejaran," heran Tara melihat kelakuan teman satu kelasnya.
Bunyi peluit milik guru olahraga berbadan tinggi besar itu menghentikan kegiatan kejar-kejaran antara Bian dan Tara.
୨⎯ "BIANTARA" ⎯୧
Maaf untuk penulisan dan penyampaian yang terkesan berbelit, silahkan bubuhkan koreksi di kolom komentar, terima kasih.
Kekeke ... holla, hiho di sini. Sebagai manusia yang kurang aktif ay suka bingung sama manusia kelebihan energi kaya mas Bian ini. Mentang-mentang mas Bian ini pas bayi engga di bedong aktifnya kebangetan, beda sama mas Ta yang dari bayi udah pake bedong yang rapet kaya lepeut.
KAMU SEDANG MEMBACA
BIANTARA
Teen Fiction"Manusia itu tidak ada yang sempurna, Megantara. kita semua sama, pernah berbuat salah, pernah menjadi pelaku, pernah juga jadi korban, semua setimpal dan berjalan sesuai porosnya." Katanya suata hari di sore yang hampir dijemput oleh malam. BOHONG...