Tara meminta Asrul untuk menepi terlebih dahulu. Hari ini jadwal Tara masih padat, sekarang harusnya Tara dalam mobil menuju tempat les.
"Les Mas Ta dimulai kurang dari lima belas menit lagi," peringat Asrul.
"Saya tidak lama."
Setelahnya, Tara keluar mobil dan berjalan mendekati jembatan yang berdiri kokoh diatas danau buatan. Tara berdiri menjulang menghadap depan seakan menantang langit. Tubuhnya yang kecil tenggelam dalam hoodie kebesaran yang Asrul beri sekitar satu tahun lalu.
Rambut panjangnya yang berhasil lolos dari jeratan guru BK mulai berantakan tersapu angin, tali tas yang tersampir mulai Tara cengkram erat.
"Megantara!"
Suara yang cukup sering terdengar menghentikan aksi Tara yang sebelumnya ingin berteriak kencang.
"Jangan pernah lakuin hal bodoh, Megantara." Tubuh bongsor Bian mengukung tubuh Tara yang ternyata jauh lebih kecil.
"Lepas!" Berontak Tara.
Risih dan aneh. Raga Tara tidak pernah merasakan sensasi aneh itu. Tidak terbiasa dan tidak nyaman apalagi yang melakukan orang yang tidak dekat.
"Oke, maaf." Bian melepas pelukannya. Mata bulat Bian menatap terlalu dalam pada manik redup Tara.
"Manusia itu tidak ada yang sempurna, Megantara. Kita semua sama, pernah berbuat salah, pernah jadi pelaku, pernah juga jadi korban, semua setimpal dan berjalan sesuai porosnya."
Tara bergeming. Kepalanya yang berisik makin memuakan. Tidak ingin berdiam lebih lama lagi, Tara beranjak meninggalkan Bian sorang diri.
Sabian nyatanya hanya bagian dari sosok asing dalam hidup saya. Dia terlalu berani dan sama saja seperti yang lain. Saya terlalu berharap ternyata.
****
Tara pikir mendapat tudingan yang tidak mengenakan adalah hari paling memuakan yang pernah Tara lalui. Nyatanya hari ini jauh lebih memuakan.
Pengumuman pemenang lomba sudah santer dibicarakan sejak pagi. Di upacara yang berlangsung senin ini, para pemenang sudah dipanggil berdiri di depan dan mendapatkan sertifikat, piala, dan hadiah dari sekolah.
Satu minggu berlalu sejak pengumuman pemenang. Suasana hati Tara kian muram tiap harinya. Berbagai macam gunjingan, baik yang terdengar langsung dan blak-blakan, atau lewat sindiran halus dan komentar kurang mengenakan di sosial media sekolah menjadi alasannya.
"Megantara, lo nanti ada jadwal lain gak sepulang sekolah?"
Tara yang berjalan santai di lorong menuju ruang guru menghentikan langkahnya. Seorang siswa tampak menyembulkan kepalanya.
"Kenapa?"
Sier, si pemanggil tampak bingung sendiri. "Euh, omong-omong lo mau kemana?"
Tara angkat tangan kirinya yang menenteng buku tulis kehadapan Sier yang direspon anggukan dengan mulut terbuka menyerukan kata 'oh' dengan panjang.
"Kita ngobrol sambil jalan. Kali aja ketemu Jena," dorong Sier pelan.
Tara menurut saja, lagipula Tara juga malas harus berlama-lama di luar kelas seperti ini.
Tara yang jarang berbicara tidak repot membuka suara dan bertanya terlebih dahulu sedangkan Sier yang memang ingin berbicara masih bergelut dengan pikirannya.
"Berduaan aja kaya pengantin baru,"
"Mulut lo, Na." Ketus Siel.
Tara tinggalkan keduanya yang sibuk bertengkar. Mengantarkan tugas jauh lebih penting. Tidak sampai sepuluh menit Tara sudah kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
BIANTARA
Teen Fiction"Manusia itu tidak ada yang sempurna, Megantara. kita semua sama, pernah berbuat salah, pernah menjadi pelaku, pernah juga jadi korban, semua setimpal dan berjalan sesuai porosnya." Katanya suata hari di sore yang hampir dijemput oleh malam. BOHONG...