1.1

4 0 0
                                    

  Kata suram, sudah cukup untuk menggambarkan suasana ruang makan keluarga Abimanyu. Rumah berlantai dua yang dihuni sepasang suami istri dengan satu anak dan dua pekerja itu terasa seperti rumah mati.

Saking suka dengan keheningan, laki-laki awal empat puluh dua yang pakaian wajibnya kemeja dengan jas dan celana bahan dengan sepatu fantovel hitam mengkilap itu bahkan merasa terganggu hanya dengan suara sendok dan garpu yang bergesekan dengan piring.

Tidak sampai sepuluh menit, Tara sudah menyelesaikan kegiatan makannya, beranjak terlebih dulu meninggalkan meja makan. Dalam hidup Tara yang monoton tidak pernah ada kalimat pamit atau sekedar bertemu pandang dengan sepasang suami istri yang masih menyelesaikan makan dalam keadaan saling diam.

Langkah Tara terayun meningalkan ruang makan dengan terburu. Terlalu kaku dan membosankan untuk Tara jika berada dalam satu ruangan yang sama terlalu lama dengan kedua orang tuanya sendiri.

Sepasang sepatu converse hitam sudah rapi di bawah kursi teras, tinggal menunggu sang pemilik menggunakannya. Tara dudukan bokongnya di kursi rotan, tas gendongnya sudah Tara minta Asrul-supir pribadinya-untuk langsung disimpan di mobil.

"Mas Ta, mobil sudah siap," hanya anggukan yang menjadi balasan dari Tara.

Tara dengan cepat mengikatkan tali sepatunya, lalu bangkit dengan sedikit merapikan seragam SMA-nya lalu bergegas mendekati mobil yang sudah dipanaskan oleh Asrul.

Mobil hitam yang Asrul kendarai sudah mulai melaju membelah jalanan pagi yang sudah ramai pengendara. Maklum saja hari senin, semua orang sibuk entah pergi bekerja atau sekolah seperti Tara setelah menyelesaikan libur semesternya.

"Jadwal Mas Ta hari ini, pulang sekitar pukul 13.15 WIB kalau tidak ada perubahan jadwal. Dilanjut di pukul 14.00 WIB Mas Ta ada pertemuan dengan tuan Abimanyu. Dilanjutkan di pukul 15.35 WIB Mas Ta ada les matematika sampai pukul 18.25 WIB. Setelah itu makan malam bersama tuan besar di restoran biasa."

Tidak ada tanggapan. Asrul tersenyum tipis di balik kemudinya. Walaupun Tara tidak menanggapi, tapi Asrul tahu kalau tuannya itu mendengarkan dan akan mengerjakan semua rentetan jadwal hariannya yang selalu padat.

Sisa perjalanan menuju sekolah hari itu diisi dengan hening. Seperti sebelum-sebelumnya. Terkadang Asrul berpikir bahwa tuannya itu bukanlah manusia melainkan robot.

Wajah Tara yang polos namun terkesan dingin, matanya yang sipit hanya memancarkan kekosongan setiap harinya, dan Asrul sangat sedih akan hal itu. Belum lagi, bibir kecilnya juga jarang sekali berucap sampai beberapa ada yang mengira bahwasannya tuannnya itu berkebutuhan khusus. Membuat hati Asrul ikut terluka mendengar praduga itu.

"Om,"

"Ya?" Asrul langsung menyahut sambil melirik belakang sedikit.

"Janji untuk bertemu ayah dan makan malam dengan kakek tolong di undur. Hari ini saya ada pertemuan dengan anak klub tari," Tara angkat wajahnya yang sebelumnya tengah menatap pesan yang salah satu teman satu klub-nya kirimkan.

"Pertemuan dengan tuan Abimanyu mungkin bisa di undur, tetapi untuk makan malam dengan tuan besar bukannya masih bisa dilakukan, Mas?"

"Saya harus cek kesehatan,"

"Tetapi jadwal mengunjungi dokter masih satu minggu lagi,"

"Beberapa bulan lagi klub tari akan ikut berpartisipasi dalam lomba nasional, teman satu klub saya bilang paling lambat besok sudah mengumpulkan tes kesehatan sebagai salah satu syarat pengajuan,"

"Ah, baik. Jam istirahat nanti saya akan konfirmasi ulang lagi kegiatan semester baru Mas Ta kepada tuan dan nyonya."

Tara hanya menganggukan kepala. Setelahnya sisa perjalan dihabiskan dengan hening. Tidak ada yang inisiatif untuk kembali membuka obrolan.

BIANTARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang