Udara pagi terasa semakin sejuk, maklum bekas hujan semalam yang cukup lebat, tetapi semua itu tidak mengurangi semangat dua lelaki berbeda generasi itu untuk memulai olahraga.
Sepatu olahraga hitam yang membalus alas kaki keduanya pun sudah kotor karena jalanan tanah yang dipijaki masih becek. Tetapi, itu tidak menjadi alasan untuk tidak berolahraga, mengingat cuaca pedesaan yang asri masalah sepatu kotor tidak terlalu dipedulikan.
"Lanjut sampai ujung, Pa?"
"Boleh deh, kebetulan di gapura depan ada warung yang jualan kopi sama gorengan,"
"Beuh, nikmat tuh. Cuaca dingin ditemenin kopi item sama gorengan anget,"
"Bukan lagi,"
Setelah sepakat, keduanya kembali berlari. Sesekali si pria bertegur sapa dengan beberapa penduduk yang kebetulan berpapasan, kegiatan pagi warga desa tidak jauh dari pergi ke ladang ataupun sawah yang letaknya tidak jauh dari pemukiman.
Di ujung jalan sekitar lima meter dari gapura desa berdiri sebuah warung sederhana. Warung yang sudah buka sejak tahun 90-an itu tetap berdiri menjadi satu warisan turun temurun.
Namanya warung di kampung, tidak selengkap dan sebagus warung di kota, seperti warung milik mbah Warjo ini. Warung sederhana yang letaknya di depan rumah itu memang cukup strategis walaupun yang dijual hanya kopi dan beberapa jenis gorengan.
Sampai di warung mbah Warjo, pasangan ayah dan anak itu duduk di kursi kayu panjang, sudah ada tiga orang pria setengah baya yang duduk ditemani kopi hitam dan tempe mendoan hangat.
"Punten, Bapak-Bapak,"
"(Permisi, Bapak-Bapak,)"
"Euh ... mangga, mangga," ramah seorang pria dengan pakaian lusuh hendak pergi ke ladang.
"(Euh ... silahkan, silahkan,)" *mangga, bacanya bukan pake nada buah tapi kaya ma nga gitu.
"Ning Cep Hatmo. Nuju liburan, Cep." Ramah pria satunya.
"(Loh, Cep Hatmo. Lagi liburan, Cep.)" *Cep di sini biasanya dipakai buat manggil anak laki-laki gitu.
"Muhun Bah, iyeu murang kalih hoyong kulem di bumi abah ambu saur nateh. Sakantenan weh, mempeng nuju libur sakola," balas Hatmo tidak kalah ramah.
"(Iya Bah, ini anak-anak mau nginep di rumah nenek kakek katanya. Sekalian aja, mumpung lagi libur sekolah,)" *Abah-Ambu, biasanya buat manggil orang tua, tapi karena papa Hatmo manggil orang tuanya Ibu-Bapak jadi Bita sama Bian malah manggil Abah-Ambu.
"Aduh, eta teh si bungsu tea? Meni tos ageung kieu. Meni kasep pisan, rarayna meni Encep pisan. Teu dipiceun sasiereun iyeu mah," pria setengah baya yang duduk di paling ujung ikut menyahuti.
"(Aduh, itu tuh si bungsu? Udah besar gini. Ganteng banget lagi, wajahnya mirip Encep banget.) *Teu dipiceun sasiereun, kaya yang mirip banget kaya anak kembar, kalau engga salah soalnya engga hapal dengan pasti juga.
Bian yang mendapat pujian merasa malu, daun telinganya sampai memerah dan dengan sopan mengucapkan terima kasih sambil menyalami tiga pria setengah baya itu.
Hampir dua puluh menit Bian dan papa-nya habiskan untuk menikmati gorengan dan secangkir kopi hitam untuk Hatmo sedangkan Bian memilih menyeduh susu jahe yang ambu selipkan di kantung jaketnya sebelum berangkat tadi.
"Assalamualaikum."
"Walaikumsallam."
Bita yang tengah memerhatikan ambu menumbuk kopi berjalan mendekat kearah pintu saat mendengar suara Bian.
KAMU SEDANG MEMBACA
BIANTARA
Teen Fiction"Manusia itu tidak ada yang sempurna, Megantara. kita semua sama, pernah berbuat salah, pernah menjadi pelaku, pernah juga jadi korban, semua setimpal dan berjalan sesuai porosnya." Katanya suata hari di sore yang hampir dijemput oleh malam. BOHONG...