Langit sudah hampir tertutup gelap saat Bian berjalan dengan tas yang digendong asal, seragam putih-abunya juga sudah kumel, rambut hitam panjangnya yang hari ini lolos dari gunting maut guru BK juga sudah lepek oleh keringat karena pulang jalan kaki setelah mengantarkan Juju-supra tua-nya ke RSM.
Istirahat kedua tadi Bian tiba-tiba gabut dan mengajak dua sahabat karibnya untuk menemui teman mereka di kelas sebelah. Setelah makan di kantin dan menunaikan ibadah, Bian menyeret Elan dan Wasil yang tengah bergulung dengan sarung untuk langsung menemui Joan, teman ketiganya yang berbeda kelas.
Setelah bertemu dengan Joan, Bian dengan gabut mengajak teman-temannya balapan di lapangan tanah belakang sekolah. Kebetulan mereka sudah tahu jalan pintas tanpa perlu menggunakan gerbang depan ataupun menaiki tembok tinggi yang diatasnya dipasangi kawat berduri.
Setelah berhasil lolos, Bian dengan supra getarnya menantang Jamilah-motor Aerox-milik Joan untuk balapan, yang mana langsung disanggupi oleh Joan dan mendapat sorakan semangat dari Elan dan Wasil.
Balapan antara dua motor berbeda generasi itu dimulai dari gawang bola sebelah barat sampai ke tengah lapangan, mengingat lapangan tanah yang biasa digunakan untuk kegiatan warga terbilang luas, lalu kembali lagi ke gawang sebagai tempat star sekaligus finish.
Di awal Joan sengaja melambatkan laju motornya sehingga Bian dapat memimpin. Sampai mendekati pertengah lapangan, Joan meng-gas motornya lalu berbelok dengan lembut setelahnya kembali tancap gas meninggalkan Bian dengan supra geternya.
Bian yang tidak ingin ketinggalan langsung memberi penekanan penuh pada Juju, si supra tua yang kondisi badannya sudah tidak sesehat awal dibeli, mulai geter-geter parah dan batuk-batuk, sampai di pertengah jalanan Juju menghembuskan napas berat dan mati.
Jadi beginilah Bian akhirnya, berjalan kaki dari bengkel dekat sekolah. Jarak sekolah dan perumahan tempat Bian tinggal itu tidak bisa dikatakan jauh, tapi kalau untuk berjalan kaki cukup membuat napas terengah-engah, rute nya pun tidak membingungkan karena berada di rute lurus tanpa cabang.
Sekitar lima ratus meter dari gapura perumahan, Bian melihat sekelebat Tara yang keluar mobil dan melipir kearah jembatan dekat danau buatan. Sengaja dibuat untuk tempat bersantai. Terkadang warga sekitar perumahan atau perumahan tetangga sebelah setiap akhir pekan selalu datang. Sekedar berjalan-jalan sambil olahraga atau membeli jajanan yang dijajakan pedagang.
Dengan langkah tergesa Bian berjalan hendak menghampiri Tara yang berdiri menantang langit. Tubuh kecilnya yang lebih pendek dari Bian tampak tenggelam dalam balutan hoodie hitam kebesaran sambil membelakangi arah datangnya Bian.
Bian baru tahu, kalau Tara terlihat sekecil itu, tampak lucu dalam balutan hoodie kebesaran, tas yang digendong di salah satu pundak, rambut yang sama panjangnya dengan Bian terlihat berantakan tersapu angin.
Dalam kesibukannya memerhatikan Tara, tiba-tiba kejadian dua hari lalu menghantam Bian.
"Megantara!" Sabian berteriak lantang. Badannya yang lebih besar dari Tara mendekap erat. "Jangan pernah lakuin hal bodoh, Megantara." Tekan Bian.
"Lepas!" Berontak Tara.
"Oke, maaf." Bian melepaskan pelukannya. Mata bulatnya menatap manik redup Tara dalam.
"Manusia itu tidak ada yang sempurna, Megantara. Kita semua sama, pernah berbuat salah, pernah jadi pelaku, pernah juga jadi korban, semua setimpal dan berjalan sesuai porosnya."
Tara bergeming. Berjalan pergi meninggalkan Bian. Dengan wajah linglung dan sorot mata yang meredup, Bian berlalu, hatinya bertanya apakah kali ini dirinya salah berbicara.
Padahal niat gue baik, gue gak mau dia sampe lakuin hal bodoh kaya gitu cuma gara-gara tuduhan yang belum jelas kebenarannya, dasar Megantara si manusia beku.
Sampai rumah, wajah Bian malah semakin muram saat melihat kakaknya duduk bersila di balkon rumah Tara. Dasar manusia aneh, ngapain ngedeketin tembok bernyawa gitu, cibiran itu Bian lontarkan dalam hati.
Wajah muram Bian berlanjut sampai kedalam rumah. Ransel hitamnya Bian lempar sembarang, tubuh kotornya yang berbalut seragam kusut dihempaskan keatas sofa, wajah tertekuknya menunjukan begitu buruknya suasana hati Bian.
"Anak Ibun mukanya jelek banget, mirip ikan asap buatan bu Asih," sindir Hanum.
Melihat anaknya yang biasa bertingkah menjadi pendiam membuat Hanum mendekat. Menggantikan sandaran sofa sebagai bantalan kepala Bian dengan pahanya.
"Mas Ian kenapa?" Hanum usap lembut keringat yang membasahi pelilpis Bian. "Ibun engga akan paham keadaan Mas Ian kalau cuma diem gini,"
"Ian cape Ibun. Pelajaran banyak yang ketinggalan, tiap hari ada aja dispen, pulangnya masih harus latihan futsal."
****
"kenapa Bu Huda hidupnya ngadi-ngadi, segala collab anak padus sama tari, emangnya kita idol Korea!" Celoteh Elan."Gue juga males, anjir. Mana anak tari pada sombong lagi," timpal yang lain.
"Asli! Muka mereka ngeselin banget, jing!"
"Belum lagi si Tara,"
Saat Tara berlalu melewati kerumanan itu, mulut mereka semua tiba-tiba bungkam, hanya Bian yang menatap Tara dengan tengil.
"Megantara, anak-anak satu sekolah pada heboh ngucapin selamat, teman-teman lo juga udah bilang selamat tuh sama gue dan anak padus, lo gak ada niat mau selamatin kita-kita juga?" Alis Bian sengaja dinaik-turunkan.
Sebelum benar-benar berlalu, Tara tampak melirik kearah belakang. Bian sudah memasang wajah tengil penuh kemenangan sedangkan teman-temannya berusaha menahan tawa agar tidak menyembur begitu saja saat melihat wajah Tara yang memerah tampak menahan kesal.
"Ya, selamat."
"Yang bener dong, Tar. Muka lo kaya gak ikhlas gitu." Sela Bian. "Masa lo gak ikutan seneng sih, gue sama anak padus bawa nama sekolah kita, harusnya lo juga sebagai teman bangga seengganya kasih apresiasi dengan ucapan selamat yang tulus gitu, loh." Rajuk Bian.
"Iya, selamat Sabian. Anda dan yang lain sangat keren." Dengan wajah datar dan suara yang malas Tara mencoba memberi selamatnya pada Bian.
"Thanks. Gue tahu lo sama anak tari juga udah usaha. Ya, walaupun engga menang. Tapi menurut gue lo juga udah lumayan berkembang." Puji Bian.
"Minimal menang jadi juara harapan sih, Ian. Kalau menurut gue, mana mereka kalau latihan berisik banget tuh,"
"Jangankan menang juara harapan, Bran. Mereka sampe final aja udah pencapaian bagus." Timpal yang lain.
"Berisik doang sekalinya naik panggung buat lomba malah kesandung kaki sendiri," Wasil menahan tawanya saat mengingat di acara puncak Tara terjatuh karena tersandung.
"Weh, berisik kalian, kita juga harus apresiasi anak tari. Engga dapet juara pertama atau harapan juga mereka tetap dapet juara," Elan ikut-ikutan nimbrung setelah menghabiskan es teh nya.
"Juara apa tuh?" Seru temannya yang tengah memangku gitar.
"Juara mempermalukan klub sendiri," tembal Bian.
୨⎯ "BIANTARA" ⎯୧
Maaf untuk penulisan dan penyampaian yang terkesan berbelit, silahkan bubuhkan koreksi di kolom komentar, terima kasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
BIANTARA
Teen Fiction"Manusia itu tidak ada yang sempurna, Megantara. kita semua sama, pernah berbuat salah, pernah menjadi pelaku, pernah juga jadi korban, semua setimpal dan berjalan sesuai porosnya." Katanya suata hari di sore yang hampir dijemput oleh malam. BOHONG...