1.Fitnah

465 13 0
                                    

Brukk!

Pintu depan rumah Marni terbuka lebar. "MARNI! Keluar kau dari sarang menjijikan yang kau sebut kamar itu!" Teriak seorang perempuan penuh amarah. "Siapa itu?" Gumam Marni keheranan. Ia baru saja tidur terlelap dua jam yang lalu. Ia terbangun karena suara bantingan pintu keras di depan rumahnya.

Saat Marni keluar dari kamar. Ia sudah dikepung oleh sekelompok ibu-ibu. Usianya sekitar 30 sampai 40 tahun-nan. Marni bingung, mereka tampak tidak ramah, sorot mata mereka penuh amarah, raut wajahnya pun terlihat sangar.

"Maaf ada apa ya, malam-malam begini ribut-ribut?" Tanya Marni keheranan. Dahinya mengerut melihat kelompok ibu-ibu itu, datang dengan tidak sopan masuk ke dalam rumah Marni, main dobrak seperti itu.

"Jangan sok polos kau!" Bentak ibu itu. "Jangan mentang-mentang kamu cantik di kampung ini, ya! Sejak kedatangan kamu, suami kita semua sering pulang subuh...Pulang dengan keadaan mabuk, uang pun suka habis enggak jelas! Ini semua gara-gara kamau kan?!..Dasar penari jalang!" Bentaknya lagi.

"Iya, betul!" Suara dari ibu-ibu yang lainnya serentak terdengar riuh.

"Saya tidak tahu menahu tentang itu..saya niat hanya kerja, bu. Cari nafkah buat anak saya, di kampung." Jawab Marni. Bicara apa adanya.

"Alah alesan saja biaya buat anak! Kau itu penggoda! Wanita mesum!"

"Ya, ampun bu..Sumpah demi Tuhan..saya enggak ada niat kesana. Saya hanya seorang penari saja buat menghibur!" Jelas Marni.

"Kami tidak percaya dengan sumpah mu! Kau pantas dapat pelajaran dari kami!"

Dengan bengisnya salah satu tangan ibu itu meremas rambut panjang indah Marni, tangannya menjambak dan mencengkeramnya dengan kuat, tanpa perasaan. Diikuti dengan ibu-ibu yang lain ikut meringkus Marni. Bagian lutut Marni dipukul dengan sebilah balok kayu, sampai Marni tersungkur, hantaman balok kayu itu melemahkan otot kakinya. Sampai ia meringis kesakitan. Lalu ibu-ibu yang pertama kali membentaknya - bisa dibilang, dia adalah pemimpin kelompok profokator kegaduhan di rumah Marni: Ibu-ibu itu membawa sebuah gunting, lalu kemudian meremas rambut Marni dan menggunting rambut indah Marni dengan asal. Helaian rambut Marni pun berserakan dilantai, rambut yang selama menjadi mahkotanya, dan ia rawat dengan baik, kini harus merelakan terpotong ditangan ibu-ibu yang tengah marah kepadanya. Marni menumpahkan air matanya, ia menangis pilu atas perlakuan ibu-ibu itu. Ia tidak paham, letak kesalahan dirinya ada dimana?

Tak sampai di situ, para ibu-ibu merasa kurang puas meluapkan emosi mereka. Mereka ingin membuat Marni lebih menderita lagi, memberikan pelajaran agar berhenti menjadi seorang penari Jaipong, yang selama ini mejadi ladang mencari nafkahnya. Namun ada sudut pandang yang berbeda dari para ibu-ibu itu. Jika profesi Marni dianggap kotor dan mesum, menuduh dirinya sebagai wanita penggoda, tanpa adanya bukti yang kuat. Mereka bengis main hakim sendiri.

"Mana air panasnya?!" Pinta ibu itu ke salah satu rekannya yang lain. "NIH BIAR AKU PUAS! Lihat kamu menderita!" Lalu si ibu itu menyiramkan air panas mendidih dari teko yang mereka bawa. Air panas itu dikucurkan ke kepala sampai wajah Marni, sampai ia menjerit kesakitan. Seketika wajah Marni merasakan perih, merasakan panas diseluruh kulit kepala dan wajahnya, sampai terlihat uap tipis dari kulitnya.

Kedatangan mereka seperti sudah direncanakan dengan matang, membawa gunting, balok kayu, dan air panas untuk melukai Marni. Pemikiran mereka sangat dangkal, main tuduh orang lain tanpa bukti yang jelas.

"Nih, itu yang terakhir! Sadarlah..Wanita mesum!" Cercanya. "Ayo kita pulang..biarkan dia nangis semalaman di rumahnya!" Seru perempuan itu.

Tanpa merasa berdosa mereka pergi begitu saja, meninggalkan Marni yang meringkuk seperti udang rebus menahan sakit teramat perih. Penampakan wajahnya sudah tidak terlihat cantik seperti dahulu. Rambut panjang tebal dan indah, kini sebagian terlihat pendek, terpotong tidak rapih. Bahkan rambut di bagian ubun-ubunnya paling parah, nyaris saja botak dengan sayatan luka terbuka.
Bagian wajahnyapun keseluruhannya memerah. Marni harus merasakan perih dan berdenyut menyakitkan akibat siraman air panas tadi. Marni terus menangis meratapi siksaan dari amukan ibu-ibu tadi. Ia tidak rela, mereka memperlakukannya seperti binatang.
*****

Nyai KantilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang