6.Ritual Akhir

190 8 0
                                    

Waktu ke waktu, hari ke hari, bulan ke bulan, musim ke musim. Marni semakin berubah, bukan dari fisik saja, ada kekuatan kuat mengalir di tubuhnya. Selama hidup bersama Yati, dirinya dilarang berinteraksi dengan orang-orang luar. Satu tahun penuh Marni mempelajari ilmu sihir hasil dari semedinya, dan syarat-syarat tak masuk akal telah Marni lakukan. Tak hanya itu teori-teori yang diberikan Yati kepada Marni pun tak main-main, marni benar-benar mempelajarinya dengan sangat baik.

Kini telah terlahir dukun baru dari naungan Yati. Marni, memang tak ada keturunan seorang dukun dari keluarganya, dan kini Marni menyandang gelar itu, satu-satunya perempuan dari keluarganya yang memiliki kekuatan ilmu sihir.

Selama masa belajar menjadi seorang dukun. Marni juga membantu Yati mengurus segalanya, ladang yang tadinya biasa-biasa saja kini penuh dengan sayur mayur, unggas berkembang biak dengan baik, hasil bumi yang berlimpah-hasil kerja keras tangan dingin Marni. Semua lebih tertata, tak ada kata susah untuk makan sehari-hari. Meski awal-awal Marni merasa tidak enak, jika Yati yang sudah tua renta saja masih bisa mencari uang di pasar, dibanding dirinya yang lebih muda. Beberapa kali Marni memaksa ingin bekerja untuk membantu, tapi Yati menolak permintaan dari Marni, dia tidak boleh menampakan wajah ke publik meskipun hanya sekilas, sebelum Marni menyelesaikan semuanya.
*****

Masa belajar telah rampung Marni dan Yati melakukan ritual terakhirnya. Ritual kali ini cukup lengkap dengan sesembahan, seperti bunga setaman yang di tebar di mata air, dupa bakar ada di mana-mana, yang ditancapkan di atas tanah, dan tak hanya itu tiga potong ayam dan satu ekor burung gagak yang sudah disembelih diletakan di atas nampan,yang sudah ditaburi kuncup bunga kantil segar.

Di atas batu dekat mata air. Marni sudah duduk dalam posisi sedang bersemedi, berbalut kain jarik berwarna coklat, matanya terpejam dan terlihat fokus tanpa ada gerakan sedikitpun. Kemudian Yati menghampiri Marni yang sedang duduk, memposisikan berdiri disamping Marni.

"Ini sudah waktunya...Kamu sepenuhnya menjadi seorang dukun paling sakti, gunakan kekuatan yang kamu miliki dengan bijak." Ucap Yati menasihati Marni.
Setelah itu Yati kemudian memandikan Marni dengan mata air sambil bersenandung, liriknya berbeda dari sebelum-sebelumnya yang pernah Marni dengar, itu terdengar lebih dalam dan terasa kesakralannya. Marni nampak menikmati guyuran air seperti tak merasakan dingin sedikitpun di tubuhnya, saat Yati memandikannya.

Setelah proses mandi selesai. Yati kemudian membakar sebuah keris berukuran sangat kecil dengan cara memasukannya ke dalam tembikar yang berisi arang panas yang membara, keris itu dibiarkan lama sampai berubah warna menjadi merah menyala. Setelah itu, keris yang sudah panas dijepit menggunakan sebuah tang kecil, dan kemudian dimasukan kedalam kulit kening Marni. "Ini akan terasa sakit, kamu harus tahan!" Kata Yati. Dengan hati-hati Yati memasukan keris itu. Seketika Marni langsung meringis dan menjerit, suaranya memecah heningnya malam. Rasa panas membakar kulit, sampai darah menetes keluar dari luka yang terbuka. Wajah Marni ternodai darahnya sendiri, menetes sampai ke ujung dagunya.

Setelah selesai memasukan keris. Wajah Marni dibilas kembali dengan air sampai bersih. Tak ada darah lagi yang keluar, bahkan Marni tidak merasa adanya benda asing menempel di bawah kulitnya, seakan tersa biasa-biasa saja.

"Pusaka itu sebagai tanda...Meski keris itu sudah ada di dalam kulit, seumur hidupmu akan baik-baik saja, dan tidak akan mempengaruhi apapun." Kata Yati "Apakah ini sudah selesai?" Tanya Marni. "Bangunlah sekarang duduk bersamaku di sana." Jawab Yati, lalu menunjuk ke sebuah pohon besar dekat mata air.

Di bawah pohon itu yati kemudian mengumpulkan kayu bakar membentuk api unggun, lalu membakarnya sampai api membumbung tinggi menjilat langit gelap. Ayam cemani dan gagak yang di atas nampan tadi, kemudian Yati bakar diatas api menyala.

"Aku sembahkan makanan ini untuk para lelembut yang hadir menyaksikan anakku ini...Terimalah sesembahan ini, sebagai tanda rasa hormatku." Ucap Yati.

Keduanya menikmati hangatnya api unggun, di bawah pohon besar. Rasa dingin terganti dengan hangatnya api menggelitiki kulitnya, sambil memandangi sesembahan yang dibakar, aroma rambut terbakar seketika menyeruak menusuk hidung.

"Tugasku sudah selesai...Sisanya aku serahkan kepadamu, bagaimana kamu menggunakan ilmu ini. Hukumlah orang yang sudah menyakitimu." Ucap Yati membuka percakapan setelah beberapa menit lalu tidak ada percakapan diantara mereka berdua.
"Aku akan membayar darahku yang sudah menetes...Darah dibayar darah, sakit dibayar rasa sakit, aku tidak akan membiarkan orang-orang bebas tertawa setelah membuat hidupku hancur." Sumpah Marni begitu tajam, dan nadanya penuh dengan amarah.
Selama ini Marni menahan rasa sabar untuk melakukan balas dendamnya terhadap orang-orang desa Batu Legok.




Nyai KantilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang