Suasana desa sangat hening, angin kemarau begitu dingin menusuk kulit, suhu yang cukup untuk membekukan embun malam itu. Setelah ritual penyembuhan pada Sulastri, pak Dedi tercengang melihat perubahan warna kain kafan yang tadinya berwarna putih kini menjadi lusuh, seperti kain yang sudah usang. Akhirnya pak Dedi paham kenapa mbah Dawi memilih kain kafan untuk ritual pembersihan. Perubahan warna itu menjadi tanda, kalau kain itu menyerap kekuatan jahat pada tubuh Sulastri.
"Saya akan meletakan dupa-dupa ini di depan pagar raumah...Jika seseorang melewati kepulan asap tipis ini, dan setelah kokokan ayam berbunyi tiga kali, tandanya orang itulah yang kita cari." Ucap pak Dedi lalu berjalan menuju halaman rumah. Pak Dedi sangat terkesan apa yang dilakukan mbah Dawi. Masing-masing sisi pada pagar rumah ditancapi dupa. Asap tipisnya menari-manari terbawa angin. Pak Dedi dan Sulastri semakin penasaran, siapa yang dimaksud mbah Dawi. "Kalian akan melihat siapa yang datang malam ini, firasatku merasakan ada energi jahat yang mendekat...Kita masuk ke dalam rumah." Ajak mbah Dawi. "Bagaimana bisa...Hanya kepulan asap dupa bisa mendeteksi orang jahat?" Tanya pak Dedi. "Air putih ini akan berubah menjadi hitam saat seseorang mesuk ke rumah ini...Kita lihat saja, saya sudah memantrai semuanya." Jawab mbah Dawi.
Waktu hampir menujukan tengah malam, dua jam lagi pergantian hari. Tiba-tiba kokoKan ayam terdengar melengking mengusik sepi, dan sampai kokokan ke tiga Sulastri dan pak Dedi terperangah. "Ayamnya sudah berkokok tiga kali!" Kata pak Dedi. "Tunggu...siapa yang akan datang ke sini...Kita lihat nanti."
Tak lama terdengar suara ketukan pintu dari arah depan. Mereka bertiga tak bergeming saat mendengar ketukan pintu, mata mbah Dawi langsung melirik ker arah gelas. Benar saja, warna air pada gelas itu perlahan berubah warna menjadi keruh.
"Apa yang terjadi nanti, kita harus koperatif...Bersikap seperti biasa saja." Celetuk mbah Dawi. Pak Dedi dan Sulastri mengangguk setuju.Tak mau membiarkan lama seseorang menunggu dibukakan pintu, pak Dedi langsung menuju pintu, melihat siapa sosok dibalik pintu itu.
"Marni?" Ucap pak Dedi. Ia terkejut melihat Marni tiba-tiba datang. Sulastri kemudian terperanjat mendengar nama Marni. Lalu Sulastri menyusul pak Dedi ke arah depan, dan berdiri dibalik punggung suaminya. "Ada apa malam-malam seperti ini, Mar?" Tanya pak Dedi. "Tadi saya ke warung kopi mencari pak Dedi, katanya bapak tidak datang, jadi saya pergi ke sini." Jawab Marni. "Kamu ada perlu apa, Mar?" Tanya Sulastri. "Sudah lama tidak berjumpa dengan mu." Timpalnya lagi. Seketika ekspresi Marni berubah datar saat menatap wajah Sulastri. "Saya hanya ingin mengobrol, boleh saya masuk?" Tanya Marni. "Masuk lah..." Kata pak Dedi mempersilakan.
Sorot mata Marni cukup sinis saat melihat mbah Dawi sedang duduk. Mereka tidak bertegur sapa, berjabat tanganpun tidak sama sekali. Suasana menjadi kaku di ruangan itu, hening, dan dingin.
"Apa kedatanganku menggagu kalian semua?" Tanya Marni membuka percakapan.
"Tidak sama sekali, Mar...Kau mau teh atau kopi hitam?" Tanya pak Dedi. "Kopi hitam sepertinya enak...Tanpa gula." Kata Marni. Matanya menyoroti mbah Dawi sedari tadi sudah memerhatikan dirinya. Sulastri menjadi gelisah saat kedatangan Marni, perasaannya sudah menebak, seseorang yang jahat sedang ada di hadapannya."Sulastri...Kenapa dengan kulitmu? Pak Dedi belum cerita kepadaku tentang keadaan mu sekarang." Kata Marni. Sulastri terkejut Marni berani menyebut nama tanpa memanggilnya ibu seperti dahulu. "Aku tidak tahu...Mungkin karena kemarau debu lebih banyak dibandingkan musim lain." Jawab Sulastri. "Lalu siapa kakek tua ini?" Tanya Marni. "Aku hanya bertamu...Kawan lama pak Dedi." Celetuk mbah Dawi. "Tamu...Atau orang suruhan?" Tanya Marni Sinis. Tak lama pak Dedi datang membawa segelas kopi hitam. Pak Dedi keheranan saat ia kembali, merasa ada hawa ketegangan mendadak muncul. "Mar...Ini kopinya." Kata pak Dedi. Lalu ia duduk di samping Sulastri.
"Marni...Apa maksud kamu berkata seperti itu?" Tanya Sulastri. "Dan kenapa kamu mengusik kehidupan aku Sulastri! Salahku apa?" Cetus Marni. "Apa maksud kamu? Saya tidak pernah mengusik kehidupan kamu." Kata Sulastri. "Manusia munafik!" Maki Marni. "Tunggu! Apa maksudnya istri saya mengusikmu, Mar?" Tanya pak Dedi. "Sungguh? Aku tanya sama pak Dedi...Dulu saat saya masih menari di warung kopi itu, apa bapak sering bertengkar membahas saya? Jawab dengan jujur." Cerca Marni.
"Kamu ini kenapa sih?! Kenapa ingin tahu masalah rumah tangga saya?" Tanya pak Dedi melawan. "Bapak ingat kejadian yang menimpa saya dulu? Sulastri biang keroknya!" Ucap Marni penuh tekanan. Pak Dedi terdiam lalu menatap Sulastri bingung. "Jangan asal tuduh, Mar!" Bentak Sulastri.
"Kamu yang seharusnya jangan asal menuduh orang lain tanpa ada bukti! Karna mulutmu aku menderita, pekerjaan, mental, tubuhku rusak, nyaris aku MATI!" Kata Marni tak mau kalah. "Maksudnya apa, bu?" Tanya pak Dedi bingung, apa yang didebatkan Sulastri dan Marni. Pak Dedi tak bergeming merecoki dua perempuan di hadapannya."Apa selama ini aku tidak mencari tahu? Apa kamu pikir, aku akan melupakan kejadian waktu itu begitu saja? Membiarkan orang-orang yang menyakitiku bebas dengan perasaan puas!" Kata Marni terus menekan Sulastri. Sulastri merasa tertekan dengan pernyataan Marni. "Kalian tahu, wanita yang Mati satu persatu secara beruntun? Aku yang melakukannya...Itu caraku mencari tahu siapa dalang yang memfitnahku...Jika saja lidahmu tidak berulah, desa tidak akan menjadi kacau, tak ada kemarau, dan tak ada penyakit aneh!" Kata Marni. "Bu...Benar apa yang dikatakan Marni?" Tanya pak Dedi. Sulastri tak menjawab pertanyaan dari pak Dedi, sampai menguncang-guncang bahunya. "Lidah mu sendiri yang membuat satu desa kacau Sulastri!" Cetus Marni. "Jika benar istriku memfitnhamu...Ada banyak cara tanpa harus mengorbankan orang lain, Marni!" Pak Dedi mulai terbawa suasana emosi Marni. "Dengan cara apa?! Apa dengan cara bermusyawarah? Dengan kepala desa? Duduk dan mendengar ceramah orang yang paling bijak? Kurasa itu tidak adil pak Dedi, jika skenario waktu itu bisa dirubah, aku tidak sudi dengan caramu...Aku yang babak belur, lalu menerima maaf dari para wanita jalang yang sudah menghancurkanku...Apa pak Dedi tidak berfirkir? Tak hanya fisik ku yang rusak, hati pun ikut terluka...Obat mana yang bisa menyembuhkan luka batin, pak?! Sampai kapanpun tidak ada, mungkin sampai dagingku membusuk bersatu dengan tanah, luka itu tak akan pernah hilang!" Kata Marni semakin meluap dengan emosinya. "Cukup! Ya, ini semua berawal dari kamu Marni...Aku sesungguhnya cemburu sejak awal kedatangan dirinya di tempat usaha kamu, pak!" Bentak Sulastri. "Nasi jadi bubur sulastri...Aku akan akhiri dendamku malam ini!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Nyai Kantil
HorrorMenceritakan perjalanan seorang penari Jaipong yang difitnah warga sebagai seorang penari penggoda laki-laki, dan mesum. Marni merasa tidak melakukan hal itu semua. Kejadian keji terjadi, marni diserang sekelompok ibu-ibu yang merasa dirugikan atas...