5.Ritual Pertama

238 9 0
                                    

"Aku tidak menyangka hujan selebat ini tidak merusak atap gubuk, tak sedikitpun air merembes masuk ke dalam cela terkecil." Ujar Marni, sambil menyantap hidangan makan malam. "Aku melapisi terpal sebagai dasarnya, jerami, dan kemudian daun kelapa kering untuk melindungi terpal agar tidak cepat rapuh karena terik matahari." Jawab Yati. Lalu Marni mengangguk.

Meski di luar hujan sedang deras-derasnya, di dalam gubuk terasa begitu hangat. Hidangan ikan goreng, daun singkong rebus, dan sambal terasi, begitu nikmat. Sinar redup dari lampu minyak di setiap sudut gubuk, memberi kesan kesederhanaan yang tidak akan Marni lupakan. Terlintas, suasana malam itu membawa lamunan Marni teringat akan ibu dan anaknya di desa Rawa Monyet. Saat makanlah pikirannya suka melayang-layang dengan orang tersayang. Jauh sebelum bertemu dengan Yati, Marni selalu teringat ke sana, dan selalu membawa rindu. Terkadang piring yang masih terisi penuh, Marni bisa melamun begitu lama, lalu akan tersadar dengan sendirinya.

"Maaf, bu...Bagaimana bisa bertahan sejauh ini, padahal ibu sudah tua, suami pun tak ada. Beras, minyak, dan lain-lain, ibu dapatkan dari mana?" Celetuk Marni dengan santai. Tangannya sibuk memasukan nasi suap demi suap, kebiasaan makan sambil mengobrol adalah kebiasaanya sejak kecil sampai terbawa dewasa. Kala makan tiba haruslah ramai mengobrol, suasana akan terasa hidup menurutnya. "Aku bekerja dengan pengepul sayur di pasar, kadang kuli sebagai pengupas bawang, apapun itu aku lakukan untuk menyambung hidup. Selain itu aku menanam sayur sendiri, kebunnya ada di samping gubuk, di sana semua bahan aku tanam." Jawab Yati menjelaskan. Marni tertegun usaha yang dilakukan Yati, meski sudah tua dan membungkuk, ia masih kuat menjadi kuli di pasar. "Cepat selesaikan makannya, ada sesuatu yang harus kita lakukan malam ini." Sambung Yati. Marni mengerenyitkan kedua alisnya. "Apa itu?" Tanya Marni penasaran. Lalu Yati terdiam sejenak. "Nanti aku jelaskan...Makanlah, isi perut kecilmu." Tandas Yati. Lalu menyelesaikan makan malamnya.
*****

"Aku minta tolong, kamu tangkap satu ekor ayam jantan...Mereka dikurung di sangkar bambu di belakang gubuk, pandanganku buruk saat malam hari." Titah Yati. Tak banyak lama Marni langsung pergi ke luar.

Selang beberapa menit Marni berhasil menangkap satu ekor ayam jantan sesuai permintaan Yati. Marni penasaran, mau diapakan ayam itu oleh Yati.
"Sekarang pegang kedua kakinya, gunakan tangan kananmu untuk memegang kakinya, dan rentangkan kedua sayapnya, lalu pegang sayapnya dengan tangan kiri dengan kuat."
Marni cukup kesulitan dengan permintaan Yati. Ayam itu cukup sulit dikendalikan, karena memberontak, beberapa kali Marni coba hampir gagal, tak sedikit kulitnya terkena cakaran ayam jantan itu. Tak lama Marni sudah mendapatkan posisi yang sesuai Yati intruksikan.
"Tahan sebentar aku akan mengambil pisau, dan beberapa barang yang harus aku siapkan." Yati pun pergi meninggalkan Marni sebentar.

Di hadapan Marni, ia melihat sajian yang tak biasa. Satu nampan daun pandan yang sudah di potong kecil kecil, terdapat tebaran bunga-bunga kering, dilihat seperti bunga kenanga dan mawar. Ketiga bahan itu mengeluarkan aroma khas yang berpadu menjadi satu. Di nampan itu terdapan cawan berwana emas, memiliki simbol-simbol asing yang tidak pernah dilihat Marni. Di tangan Yati, ia sudah memegang pisau belati, terlihat silau bagian tajamnya saat terkena sinar lampu minyak. "Apa ibu akan memotong ayam ini?" Tanya Marni. "Pegang dengan kuat, jangan sampai ia terlepas saat memberontak." Titah Yati. Ia tidak menggubris pertanyaan Marni. Perlahan belati itu Yati tempelkan di leher ayam jantan, lalu Yati memegang kepala ayam, dan menyayat secara perlahan. Darah segar mulai mengucur. "Tahan yang kuat! Letakan darahnya di atas cawan itu." Seru Yati. Marni dengan cepat mengarahkan ayam itu di atas cawan. Ayam itu cukup kuat memberontak menahan sakit, Sampai Marni hampir kehilangan kendali, seumur hidupnya ia belum pernah menyaksikan ayam disembelih, ia merasa kasihan melihat ayam itu menggeliat mati ditangannya. Beberapa menit kemudian ayam itu melemas, tak ada perlawanan lagi darinya.

Yati kemudian membersihkan belati dan tangannya yang sudah berlumuran darah. "Simpan ayam itu di bawah. Nanti akan aku bersihkan ayam itu setelah ini selesai." Kata Yati.

Nampan yang bersisi, pandan, mawar, dan bunga kenanga tercecer darah ayam. Marni semakin penasar untuk apa darah ayam itu. Ia seperti anak kecil yang kebingungan.
Yati mengambil cawan itu lalu mulutnya mulai berkomat-kamit. Entah apa yang di rapalnya, Marni mulai paham, Yati sedang menggunakan sihirnya. Tadak terdengar suara Yati membaca apa, Marni hanya bisa menyaksikan apa yang dilakukam Yati.
"Harum darah sangat disukai para bangsa lelembut yang tak terlihat...Sebelumnya aku mau bertanya tentang kesiapanmu, tujuanmu untuk dendam bukan?" Cetus Yati. Lalu Marni menjawab, "Ya, tentu saja."
"Ini hanyalah awal...Ada hal lain yang harus kamu pelajari selanjutnya. Sementara, lakukan yang termudah terlebih dahulu...Sekarang minum lah darah ini." Seru Yati. Seketika Marni langsung terperangah mendengar perintah dari Yati. Meminum darah ayam segar. "Apa?! Tidak kah ini akan membahayakan ku?" Cetus Marni. "Ini masalah yakin tidaknya...Jika kamu mempercayai apa yang aku perintahkan, aku bisa menjamin keselamatanmu. Sebaliknya, jika dalam hatimu masih ada rasa ragu, lalu kamu meminumnya, aku tidak bisa menjamin apa yang akan terjadi dengan tubuhmu." Jelas Yati.

Marni menerima cawan berisisi darah ayam itu. Kengerian dan rasa jijik melihat darah. Marni diam seribu bahasa, bagaimana rasa darah sebenarnya, ia seperti seorang vampir saat ini. Rasa ragu dan takut masih besar dibanding niatan dirinya untuk balas dendam. "Pikirkan dengan matang, sebelum memulai ke tahap selanjutnya, hati dan pikiran harus sejalan, tidak boleh ada keraguan sediki pun." Kata Yati menegaskan.

Marni hanya menatap cawan itu, ia sedang mengumpulkan keberanian, dan membulatkan hati. Lalu ia membayangkan kejadian dua hari yang lalu, saat dirinya di siksa dan hujat orang-orang desa. Ternyata bayangan itu perlahan menggerus rasa ragunya, memicu niat dendam semakin kuat.
Selang beberapa menit kemudian tanpa ada rasa ragu lagi, Marni dengan beraninya meneguk darah segar itu. Bau amis, dan mual melanda, disetiap tegukannya, kerongkongan Marni seperti menolak, beberapa kali dirinya ingin sekali memuntahkanya, tapi ia harus tetap menghabiskannya.

Selesai meminum darah, Yati mulai bernyanyi seperti seorang sinden. Lalu Yati membakar dupa dan kemenyan putih, yang sudah ia siapkan sebelum Marni meminum darah itu.
"Simkuring jadi saksi, pun anak dipaparin kakuatan ti karuhun kasepuhan. Ucap sing jadi perah, letah seukeut sa seukeut kujang anu Agung Raja Siliwangi. Pitulung sagalarupina." Yati merapal mantranya, satu helai daun pandan itu dimasukan ke dalam cawan yang masih ada sisa-sisa darah, lalu menempelkanya di kening Marni. "Benteng luhur teu aya anu mustahil ngersakeun ngaruntuhkeun, kuat na beton jadi pondasi panghalang sukma rahayu."

Setelah Mantra selesai diucapkan. Marni merasakan ada perubahan pada suhu rumah Yati, ada sesuatu yang hidup dalam nadi-nadi Marni, bukan aliran darah, tetapi seperti ada air hang mengalir, dari ujung kaki sampai kepala, terasa dingin disetiap nadi terkecil di bawah kulit. Dari situlah Marni meyakini jika sihir memang ada, dan dia merasakannya malam ini. Beberapa menit kemudian, aliran dingin pada nadinya tiba-tiba menjadi panas dibagian kepalanya, seakan aliran itu menumpuk menjadi satu, membuat marni menjerit merasakan suhu teramat panas.

Kemudian panas itu menghilang, hanya bertahan beberapa menit. Meski hitungan menit, Marni seperti merasa tersiksa berjam-jam lamanya, sampai terkulai lemas. Segera Yati memberi segelas air untuk menetralkan kondisi Marni.
"Kamu akan baik-baik saja." Ucap Yati iba.
"Aku merasa aneh...Ada yang salah dengan tubuhku sekarang." Ujar Marni. Dia terbatuk-batuk saat meneguk air putih dari Yati. "Tidak ada yang salah...Sekarang ada sesuatu yang bersemayam, bersatu dengan darahmu." Jawab Yati.

Marni terdiam, tatapannya kosong mengarah langit-langit gelap. Ada perasaan yang tidak bisa dijelaskan Marni setelahnya. Ritual pertama berhasil dilakukan Yati. Perjalanan Marni tak sampai disitu, masih ada tahap yang harus dilakukan lagi, untuk membentuk kakter baru lebih utuh, dan Marni yang sesungguhnya.

Nyai KantilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang