9.Ketegangan Desa

196 9 0
                                    

Kematian Lilis menjadi buah bibir warga desa Batu Legok. Banyak asumsi yang berbeda-beda atas kematiannya, apalagi kondisi yang tak wajar. Berita kematian Lilis memunculkan rasa takut, ditengah duka keluarganya pun, orang-orang desa Merasa ada sesuatu yang mengancam muncul dan baru pertama kali ada kematian dengan jasad tidak biasa.

Pagi itu suasana pasar desa Batu Legok sangat berbeda, orang-orang nampak berkerumun berkelompok. Tak lain mereka sedang membicarakan kematian Lilis yang mendadak. Marni menanggapi dengan santai, ia bertingkah polos seakan tidak mengetahui apa-apa-wajah tanpa dosa.
"Bu, sepertinya mereka sedang membicarakan sesuatu yang serius." Bisik Marni kepada salah satu pedagang. "Iya, neng...Katanya ada perempuan mati mengenaskan." Jawab ibu itu. "Oh, ya?" Cetus Marni pura-pura terkejut. "Iya, neng...Kita warga di sini jadi was-was, almarhum mati karena diteluh katanya...Curiga di sini ada dukun teluh, neng."

Di Pedesaan gosip kecil pun sangat cepat menyebarnya, dari mulut ke mulut. Merasa belum puas, Marni melanjutkan berkeliling desa melihat keadaan sekitar. Tak menyangka, kematian Lilis mempengaruhi orang-orang desa yang kemudian menimbulkan ketegangan dan ketakutan.

Hampir disetiap halaman rumah, para perempuan penggosip sedang membicarakan Lilis. Marni mendengarnya dengan jelas bisikan-bisikan orang-orang desa saat sedang bergosip.

Di ujung jalan sana terlihat rombongan pengantar jenazah. Mayat Lilis baru mau di kebumikan siangnya, terlihat orang-orang mengikuti kerandanya dari belakang. Dengan cepat Marni bersembunyi, setelah melintasinya, Marni kemudian mengikuti para rombongan pengantar jenazah. Pemakaman biasanya banyak orang-orang terdekat almarhum-tetangga, dan keluarga. Tak menutup kemungkinan, di sana pasti ada orang-orang yang dicari Marni selama ini.

Sesampainya di sebuah pemakaman umum, nampak orang-orang mengerumuni kuburan Lilis. Dari jauh sana, Marni terfokus pada anak kecil laki-laki. Anak dari Lilis, wajahnya terlihat kebingungan, dan polos, seperti tidak mengerti arti dari kemataian ibunya. Lilis sedikit tersentuh saat melihat anak kecil itu, seketika langsung teringat dengan anaknya di kampung. Dengan cepat Marni mengalihkan pandangannya.

Marni hanya bisa melihat dari kejauhan, menjaga jarak aman dengan orang-orang desa, dan benar saja ada beberapa orang yang Marni kenali diantara kumpulan pelayat itu, termasuk perempuan yang bersama Lilis kemarin. "Ada saatnya kalian merasakan gelapnya liang lahat, dan dinginnya tanah lembab." Gumam Marni.
Setelah Jenazah Lilis diturunkan, Marni segera pergi dari tanah pemakaman.
*****

Yati baru saja pulang dari pasar. Ia membawa banyak bingkisan, tak biasanya Yati membawa barang banyak, kali ini tiga sampai empat plastik hitam berbagai macam ukuran ia bawa. "Aku sudah mendengar berita dari orang-orang pasar...Banyak rumor bermunculan dari orang-orang berbeda, tapi rumor dukun yang paling banyak dibicarakan." Ujar Yati. "Hmm...Itu belum seberapa, satu mayat saja sudah heboh seperti itu, bisa dibayangkankan kalau satu desa aku matikan." Cetus Marni sinis, menyombongkan diri. "Ingat tak semua orang desa berdosa kepadamu...Pilih lah yang berperan besar saat itu." Kata Yati. "Aku sudah memikirkan itu," Jawabnya. "Apa yang ibu bawa?" Tanya Marni. "Aku membawakan bunga kantil untuk kebutuhanmu, dan ini..." Kata Yati, lalu mengeluarkan sebuah baju kebaya berwarna hitam dari plastik hitam paling besar. Motif kebaya itu lebih mewah dengan payet merah dan hitam. "Ibu sengaja membelikanku ini?" Tanya Marni. Binar matanya menyiratkan bahagia. "Aku memesan khusus untuk kamu...Pakailah, warna hitam dan merah akan menjadi warna identisamu yang sekarng." Jawab Yati.

Lalu kebayanya Marni pakai saat itu juga, cocok berpadu dengan kain jarik coklat bermotif batik mega mendung.
Kebayanya sangat pas di tubuh Marni, sampai lekukan tubuhnya terlihat sempurna.
"Nyai Kantil...Sebutan yang cocok untuk mu, Marni." Ucap Yati lirih, lalu tersenyum. "Kenapa harus kantil?" Marni bertanya balik. Merasa aneh dengan sebutan jenis bunga. "Karena setiap ritual yang kamu lakukan, tak lepas dari bunga itu...Jadi aku sematakan kantil sebagai sebutan nama dukun mu." Jelas Yati.
Marni lalu diam, tak memprotes lagi dengan sebutan baru dari Yati. Marni membenarkan diri, memang bunga kantil itu selalu Marni pakai setiap kali melakukan ritual khusus.

Nyai KantilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang