Pagi buta itu Marni terbangun tiba-tiba, mimpi buruk dan bayang-bayang kelompok ibu-ibu yang menyakitinya terbayang sampai terbawa mimpi, air matanya kembali menggenang, teringat kembali hal mengerikan itu.
Bola mata Marni meraba, pukul berapa sekarang ini, karena suasana kamarnya terlalu gelap untuk melihat jam dinding. Tak ada cahaya sedikitpun di rumah Yati, bahkan lampu minyaknya pun sudah dimatikan, hanya sunyi dan serangga malam saja riuh bernyanyi saling bersahutan. Keadaan Marni untuk beberapa hari ke depan mungkin akan terasa sulit, kejadian itu akan menjadi trauma mendalam, membekas dalam memorinya. "Aku ikhlas mendapatkan luka dan rasa sakit dari orang-orang bengis itu, dengan syarat aku benar-benar melakukan dosa apa yang mereka tuduhkan kepadaku. Tapi jika aku tidak melakukannya, lahir-batinku tidak terima! Kalau sudah begini siapa yang bertanggung jawab? Aku cacat karena mereka...Bahkan aku tidak tahu dosa apa yang kulakukan kepada mereka, sampai mereka tega menghukum ku seperti ini?" Marni terus bergumam terus menyesali apa yang terjadi, merasa jika dirinya wanita paling malang, meringkuk dalam gelap.
Setelah terbangun dari mimpi buruk, Marni tidak lagi tertidur sampai ayam jantan milik Yati berkokok. Posisi tidurnya tetap sama tak berubah sedikitpun, ia mendengarkan apa yang diperintahkan Yati, agar ramuannya meresap dengan sempurna.
Sinar matahari dari timur perlahan muncul, menggerus langit gelap secara perlahan. Suara berbagai macam unggas mulai riuh, sepertinya para unggas itu sedang menunggu Yati memberi sarapan untuk mereka.
Marni tidak berani beranjak dari kasurnya sebelum Yati masuk menghampirinya. Yati belum juga terlihat, padahal matahari sudah meninggi sampai sinarnya masuk dalam sela-sela bilik kamar.
Tak lama terdengar suara langkah diiringi suara decitan kayu mendekati kamar Marni. Itu langkah Yati sedang menuju kamar Marni, yang selama ini ia tunggu-tunggu.
"Apa tidurmu nyenyak, Nak?" Tanya Yati. Wanita tua tua itu tidak terlihat seperti baru bangun tidur, terlihat segar bahkan rambutnya tersanggul rapih. "Saya tidak bisa tidur, bu. Kejadian itu membuatku takut." Jawab Marni. Lalu Marni mengangkat tubuh rapuhnya dari pembaringan. "Apa saja yang merka lakukan? Sampai membuat menderita seperti ini?" Tanya Yati. "Ibu bisa lihat sendirikan? Tidak hanya cacat yang aku terima, tapi batinku dibuat luka tanpa ampun." Jawab Marni lirih. Suranya sedikit serak, terdengar tidak merdu seperti biasanya.Yati kemudian memapah Marni untuk keluar dari kamarnya. "Sekarang waktunya memulihkan semuanya...Ikut denganku, matahari belum terlalu terik menyengat kulit." Ajak Yati. Lalu mereka berdua keluar dari kamar.
Yati mengajak Marni berjalan ke suatu tempat. Letaknya tidak jauh dari belakang rumahnya. Yaitu sebuah kebun yang dipenuhi tanaman liar dan pohon perdu yang bernaung, dibalik kebun itu terdapat sebuah kolam berdiameter cukup besar, tepatnya sebuah mata air. Pinggiran kolam itu terdapat sebuah batu besar, Marni merasa heran di tempat seperti itu terdapat sumber mata air jernih, sedangkan di sana tidak terdapat perbukitan atau tebing yang biasanya mata air muncul diantara keduanya.
"Jernih sekali air itu." Tanya Marni. "Ini adalah harta karun, sangat jarang mata air muncul di pertengahan dataran rendah." Jawab Yati. Mereka berdua berdiri memandangi kolam dengan air yang amat cantik, jernih seperti cermin. Bahkan dasar tanah kolam itu terlihat jelas, dengan berbagai macam tanaman air yang tumbuh subur menghiasi kolam.
"Duduklah dintara batu besar itu." Kata Yati, lalu menggiring Marni menuju salah satu batu besar itu dengan hati-hati. Lalu Marni menuruti apa yang dikatakan Yati. Dasar batu itu terasa mulus, seperti kulit buah apel, ukiran alam yang amat sempurna, belum tentu manusa bisa menciptakan batu semulus itu.Lalu Yati membawa sebuah gunting yang sebelumnya sudah terbungkus kain berwarna hitam, dan terdapat satu buah silet. Semua itu seperti sudah disiapkan Yati sebelum Marni tiba di kolam.
Di bawah sianar matahari, penampakan tubuhnya tak jauh seperti orang gila, hancur dan menjijikan. Marni baru tersadar jika luka-luka melepuh itu sudah tidak terasa perih lagi, racikan obat Yati amat ampuh bisa menghilangkan perih yang diderita Marni."Aku akan memperbaiki potongan rambut yang tidak berarutan itu." Ucap Yati. Tangannya membelai rambut Marni dengan lembut. Perlahan Yati mulai memotong rambut Marni dengan hati-hati. "Yang gugur akan terlahir kembali...Anggap rambut yang terpotong ini bukti kamu membuang segala kesialan yang terjadi, dan suatu saat rambut yang tumbuh kembali akan terlihat lenih indah dan sehat." Sambung Yati. Marni hanya tertunduk pasrah melihat rambutnya terpotong semakin banyak. "Awal sulit, tapi kamu akan terbiasa dengan bentuk wajahmu nanti."
Kini penampakan wajah Marni terlihat seperi seorang biksu, dengan kepala pelotos. Ia lebih terlihat seperti seoarang laki-laki. Tapi mau bagaimana lagi, Yati harus memangkas semuanya, akibat potongan yang ngasal, demi pertumbuhan rambut lebih indah dan teratur. "Lepaskan bajumu." Pinta Yati. Marni sedikit terperangah, apakah Yati tidak sedang bercanda? Apakah harus telanjang ditengah perkebunan seperti ini, membuat Marni ragu dan khawatir bagaimana kalau ada yang mengintip dirinya sedang dimandikan. "Anu...Bisakah saya mandi di tempat lebih tertutup, bu?" Celetuk Marni. "Tak akan ada yang melihat, siapapun itu dengan sengaja, orang tidak akan sadar dengan tempat ini, tanaman terlalu rapat melindunginya, nyaris menyulitkan pandangan orang-orang." Tandas Yati meyakinkan Marni.
Sedikit keraguan dalam dirinya, akhirnya Marni melepaskan baju dan kain jarik yang menutupi kaki. Kini Marni benar-benar telanjang bulat, sampai Marni menyilangkan kedua tangannya untuk menutupi dada, ia merasa malu di hadapam Yati, meski mereka berdua sesama perempuan.
Perlahan dengan hati-hati Yati mulai mengguyur tubuh Marni. Airnya begitu sejuk menusuk kulit, seketika Marni merasakan sensasi suhu dingin yang berhasil mengejutkan tubuhnya. Ramuan yang sudah mengering pun kemudian tersapu air, terkelupas, rontok dengan mudahnya. Tiba-tiba Marni melihat lalu tercengang, luka basah menjijikan seketika hilang tak berbekas, kulitnya mulus tak ada satupun luka tersisa, sampai ia meraba kepala dan wajahnya. Ia merasa tidak percaya apa yang ia lihat barusan. Seperti sihir, kata yang terlintas begitu saja di otak Marni, padahal dirinya sudah skeptis dengan luka-luka menjijikan itu akan membekas selamanya. Marni bertanya-tanya, apa yang Yati berikan pada ramuan itu, bisa menghilangkan luka seketika tanpa harus menunggu waktu lama. Tak lama kemudian Yati bersenandung merdu, ia bernyanyi melantunkan bait-bait indah berbahasa sunda, lagu asing yang tak pernah Marni dengar sebelumnya. Suaranya begitu merdu, membuat Marni mematung saat mendengarnya, air yang tadinya terasa dingin kini menjadi seperti biasa-biasa saja di kulit Marni.
"Sebenarnya ibu ini siapa?" Tanya Marni tiba-tiba. Yati tak menggubris pertanyaan Marni, ia tetap terus bernyanyi seakan ingin menyelesaikan sampai bait terakhir. Marni pun tak bertanya untuk kedua kalinya, ia membiarkan Marni menyelesaikan lagunya. Sampai guyuran terkahir, Yati berhenti bersenandung. "Ceritanya panjang, nanti kamu akan tahu siapa aku sebenarnya." Tandas Yati, menjawab pertanyaan Marni.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nyai Kantil
HorrorMenceritakan perjalanan seorang penari Jaipong yang difitnah warga sebagai seorang penari penggoda laki-laki, dan mesum. Marni merasa tidak melakukan hal itu semua. Kejadian keji terjadi, marni diserang sekelompok ibu-ibu yang merasa dirugikan atas...