15. Penyembuhan

201 6 5
                                    

Setelah dapat persetujuan dari pak Dedi untuk tinggal sementara, pada hari itu juga mbah Dawi segera menuntaskan keinginan pak Dedi untuk menyelamatkan istrinya dari penyakit aneh yang menyerangnya. Jadi akan memakan waktu cukup lama untuk menyelesaikannya, dan tentu saja satu desa pun harus diselamatkan dari penyakit kutukan.

Sore itu sekitar puku lima sore, pak Dedi, mbah Dawi, dan Sulastri berkumpul di ruang tamu untuk melakukan ritual penyembuhan.
Di sebuah meja kaca sudah terdapat sesajen seperti, kelapa muda, bunga setaman, dan tentu saja tembikar yang berisi arang yang sudah dibakar untuk meleburkan serbuk kemenyan. Mbah Dawi adalah seorang paranormal penganut ilmu netral-seseorang yang menguasai ilmu hitam dan putih sekaligus. Penggunaan ilmu tersebut tergantung permintaan seseorang yang butuh bantuan dari mbah Dawi. Seperti pak Dedi yang ingin menyembuhkan penyakit aneh Sulastri, ia meminta mbah Dawi untuk menyembuhkan memlalui ilmu yang dimilikinya.

Sihir yang terdapat pada tubuh Sulastri harus dilawan dengan jenis ilmu hitam, karena mbah percaya ilmu hitam akan kalah dengan ilmu hitam lagi. Seperti halnya vaksin - suatu zat yang terdapat virus yang dijinakan untuk melawan virus lagi dalam darah manusia.

"Saya lupa...Tolong carikan daun pandan sebanyak 7 lembar, setelah itu kamu rebus air bersamaan daun pandan yang sudah diikat, nanti bu Sulastri mandi menggunakan air hangat rebusan pandan untuk menetralkan sihir yang ada ditubuhnya." Pinta mbah Dawi. Pak Dedi membalas anggukan lalu pergi ke pekarangan belakang mencari daun pandan. Untung saja pekarangan yang terletak belakang rumahnya banyak ditumbuhi berbagai macam tanaman apotek hidup.

Mbah Dawi kemudian memulai ritualnya diawali dengan membakar dupa beraroma melati. Aromanya begitu menenangkan, tidak menyengat seperti kemenyan putih, yang digunakan para dukun saat melakukan ritual. "Kunyah daun sirih merah ini sampai lembut lalu telan." Kata mbah Dawi lalu memberikan tiga lembar daun sirih berwarna merah muda bercampur hijau tua. Sulastri kemudian mengambil helaian daun sirih ditangan mbah Dawi, lalu memakannya. Sulastri beberapa kali hampir muntah saat mengunyah daun sirih itu, akibat rasa pahit dan pedas dari daun sirih membuatnya susah untuk menelan, bahkan matanya pun sampai berair, tak tahan dengan rasa daun sirih itu.

Setelah berhasil menelannya, Sulastri kemudian diberikan satu gelas air putih untuk menetralkan rasa pahit pada mulutnya. "Ini aneh...Cepat sekali rasa pahitnya hilang, bahkan saya tidak mencium bau sirih lagi di mulutku." Celetuk Sulastri keheranan setelah minum air. "Tandanya mantra saya bekerja dengan baik...Sirih merah memang bisa menghilangkan aura jahat dalam tubuh, jangan aneh apa yang kamu rasakan." Ucap mbah Dawi.

Tak lama pak Dedi kembali dari arah dapur.
"Saya sudah merebus air sesuai perintah mbah Dawi." Kata pak Dedi. "Baik...setelah itu belilah kain kafan." Kata mbah Dawi. "Hah?! Untuk apa kain kafan?" Tanya pak Dedi terkejut. "Nanti istrimu akan mengenakan kain kafan itu saat mandi nanti...Tenang saja, kain kafan itu bukan untuk membukus mayat, hanya syarat untuk pembersihan diri. Nanti saat saya memandikan istrimu, tolong dampingi saya untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan." Jawab mbah Dawi. "Kenapa harus kain kafan? Istri saya memiliki kain jarik banyak di lemar, mbah." Kata pak Dedi menolak. "Tidak...Harus kain berwarna putih, hanya kafan satu-satunya yang bisa digunakan. Warna putih melambangkan kesucian...Nanti kamu akan melihat sendiri, alasan kenapa aku memilih kain kafan." Jawab mbah Dawi. Pak Dedi sedikit risih dengan permintaan mbah Dawi, karena kain kafan yang biasanya digunakan untuk membungkus mayat, harus dikenakan istrinya membuat pak Dedi merinding sekaligus khawatir. Namun, demi kesembuhan istrinya pak Dedi kemudian menuruti perintah dari mbah Dawi.

Mbah Dawi kemudian melanjutkan ritualnya setelah pak Dedi pergi mencari kain kafan. "Sebutkan nama ibu kandungmu." Seru mbah Dawi. "Asih Mariam." Jawab Sulastri.
Mbah Dawi kembali berkomat-kamit.

"Assalamualaikum...kaula neda pitulung...pun incu...kumargi panyakit teluh...Hmmm...Muhun...Muhun...Sereuh hejo...Muhun...Muhun...Hatur nuhun...Waalaikumsalam." Kata mbah Dawi seperti sedang berbicara dengan seseorang namun tak terlihat lawan bicaranya siapa, ia hanya memejamkan mata, dan saling menjawab pertanyaan seakan ada deseseorang bersamanya.

"Saya sudah bicara dengan karuhun saya untuk meminta petunjuk obat apa yang cocok untuk menghilangkan sihir di dalam tubuh bu Sulastri...Sekarang carilah daun sirih hijau yang memilik urat daun yang sejajar...Ambil sebanyak tiga lembar. Punya pohon sirihnya?" Tanya mbah Dawi. "Baik mbah, saya punya satu...Tapi, daunnya tidak sedang lebat, karena kemarau panjang." Kata Sulastri. "Tidak apa-apa, kalau tidak ada daun yang saya bilang, ibu harus cari pohon sirih lain...Ingat, harus teliti melihat urat daunnya." Jelas mbah Dawi.

Tak lama Sulastri langsung pergi ke pekarangan belakang rumah. Apotik hidupnya yang tumbuh di sana cukup mengkhawatirkan, sebagian ada yang mengering karena kekurangan air, tanah di sana tidak gembur lagi. Untung saja sirih masih tumbuh dan berdaun cukup banyak. Satu per satu Sulastri menelisik helai demi helai, meski cukup memakan waktu mencarinya, karena memang sulit.

Setelah 30 menit mencari daun sirih. Sulastri dan pak Dedi datang hampir bersamaan. "Mbah, ini kain kafannnya." Ucap pak Dedi. "Sirih juga ada...untung masih ada yang segar." Sambung Sulastri menyodorkan daun sirih. "Bagus...Duduklah" Titah mbah Dawi.

Persiapan ritual semua sudah siap. Dua lembar daun sirih kemudian diolesi minyak berbau menyengat, lalu ditempelkan dibagian pundak Sulastri dan satunya lagi dibagian dada atasnya, dan satu lembarnya lagi diikat bersamaan dengan boneka jerami berukuran kecil, yang buat sendiri mbah Dawi.

"Bismilahi...Niatan simkuring ngabersihan sukma, ragana dinasagala elmu hitam...Ka asih, neda pitulung Sulastri pun anak Asih Mariam." Mbah Dawi merapal mantranya. Setelah itu boneka jerami dimasukan ke dalam kelapa muda yang sudah dipangkas bagian atasnya. Lalu setelah terendam air kelapa, tubuh Sulastri diciprati air kelapa menggunakan boneka jerami. Tiba-tiba Sulastri merasa diperciki air panas, ia meringis, merasa tidak nyaman. Lama kelamaan air kelapa merasa semakin panas, bukan lagi air panas melainkan seperti percikan batu bara yang dibakar. Sulastri kemudian terjengkang, badannya seketika kejang-kejang, tanpa jeritan seperti orang yang mengalami stroke. Pak Dedi melihat istrinya panik, ia takut istrinya kenapa-kenapa. "Cepat sediakan air panas tadi, lalu campur dengan air dingin...Sebentar lagi selesai." Kata mbah Dawi. Pak Dedi dengan sigap pergi ke dapur.

"Rugrug pucus jadi tilu, rempag bayahna jadi dalapan...Asiih." Ucap mbah Dawi.

Perlahan kejang sulastri mereda, setelah itu ia tak sadarkan diri. "Bu!" Teriak pak Dedi. "Tenang pembersihan dari dalam sudah selesai. Sebentar lagi bu Sulastri akan sadar sendiri." Kata mbah Dawi.
Beberapa menit kemudian, Sulastri tersadar, ia terlihat linglung, seperti terbangun dari tidur panjang. "Alhamdulilah Gusti...Bu, bapak khawatir." Kata pak Dedi terharu. Sulastri hanya menatap kosong pak Dedi dan mbah Dawi. "Sekarang, ajak bu Sulastri melepas semua bajunya di kamar, lalu ikatkan kain kafan ini dari dada sampai bagian tumit, dan biarkan bagian tangannya."

Setengah badan Sulastri sudah terbalut kain kafan. Ada perasaan ngeri ketika kain pembungkus mayat melilit tubuh Sulastri, wajahnya terlihat muram dan cemas. Lalu setelah itu Sulastri dimandikan di depan rumahnya disaksikan oleh pak Dedi. Satu ember air berukuran besar lalu ditaburi bunga setaman, yang didominasi bunga mawar merah, dan bunga melati. Aroma wewangian bunga itu berpadu dengan aroma pandan, harumnya begitu semerbak saat air mulai membasahi seluruh tubuhnya. Di setiap guyuran, mbah Dawi tak berhenti komat-kamit merapal mantra sampai air di dalam ember itu habis.
*****

"Sial...Sihir siapa ini?!" Ucap Marni terusik saat dirinya sedang meditasi seorang diri. Ia merasakan ada kekuatan yang mengusik sihirnya. Ia menyadari kekuatan dari mbah Dawi sedang bekerja melawan sihir miliknya.

"Tak akan aku biarkan kalian merobohkan benteng sihirku...Aku lebih kuat!" Gumam Marni.

Nyai KantilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang