Admin / 9 Feb 2013
PESAN MORAL DARI KISAH ASHABUL-KAHFI
Oleh
Ustadz Muhammad 'Ashim bin Musthofaأَمْ حَسِبْتَ أَنَّ أَصْحَابَ الْكَهْفِ وَالرَّقِيمِ كَانُوا مِنْ آيَاتِنَا عَجَبًا
Atau kamu mengira bahwa orang-orang yang mendiami gua dan (yang mempunyai) raqim itu, mereka termasuk tanda-tanda kekuasaan Kami yang mengherankan? [al-Kahfi/18:9].
PENDAHULUAN
Sangat banyak kisah dari umat terdahulu yang difirmankan Allah di dalam kitab-Nya yang mulia, Al-Qur'ânil-Karim. Yang secara nyata menunjukkan betapa besar faidahnya untuk menuntun umat manusia kepada hidayah. Tidak mengherankan, karena paparan kisah termasuk media pembelajaran yang penting. Apalagi, biasanya seseorang mempunyai kecenderungan lebih mudah untuk meresapi pesan-pesan moral dari sebuah cerita yang shahih.Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin menyampaikan ada empat faktor yang telah menyebabkan kisah dari Allah Subhanahu wa Ta'alamenjadi sarana pelajaran yang terbaik lagi paling sempurna.[1] Yaitu: (1) karena kisah tersebut bersumber dari ilmu Allah, (2) berisi kejujuran, (3) diungkapkan dengan gaya bahasa sastra yang tinggi, jelas lagi terang. Tidak ada perkataan yang lebih jelas dibandingkan Kalamullah, kecuali bagi orang yang hatinya sudah disesatkan Allah, sehingga ketika mendengar kisah-kisah yang dituturkan Allah dalam kitab-Nya, ia mengatakan: "Ini adalah dongeng-dongeng masa lalu". (4) muncul karena merupakan kehendak Allah. Dengan kisah-kisah tersebut, Allah tidak menginginkan kesesatan ada pada diri kita, atau berbuat curang terhadap hukum yang telah ditetapkan. Namun dengan kisah tersebut, Allah menginginkan agar kita mendapatkan hidayah dan berdiri tegak di atas keadilan.
KISAH ASH-HABUL-KAHFI, MERUPAKAN TANDA KEBESARAN ALLAH SUBHANAHU WA TA'ALA
Dalam surat Al-Kahfi, Allah menyampaikan salah satu kisah kehidupan masa lalu. Yakni yang dikenal dengan ashhabul-kahfi, yaitu para pemuda penghuni gua, yang dikisahkan secara global .Dalam sebuah keterangan disebutkan, bahwa mereka memeluk agama Nabi 'Isa bin Maryam. Akan tetapi, Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah merajihkan, bahwa pemuda-pemuda itu hidup sebelum perkembangan millah Nashraniyah. Seandainya mereka memeluk agama Nashrani, sudah tentuk para pendeta Yahudi tidak memiliki data tentang mereka. Sedangkan peristiwa ashhabul-kahfi, merupakan tema yang dikemukakan oleh Yahudi kepada kaum Quraisy untuk "menguji" kebenaran kenabian Rasulullah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, selain pertanyaan tentang Dzul-Qarna-in dan roh. Ini menunjukkan bila peristiwa tersebut sudah terbukukan dalam kitab-kitab ahli kitab, dan terjadi sebelum kemunculan agama Nashrani. Wallahu a'lam. [2]
Bentuk istifham (kata tanya) pada ayat di atas, bermakna penafian dan larangan. Maksudnya, janganlah engkau menyangka kisah ashhabul-kahfi (penghuni gua) dan peristiwa yang terjadi pada mereka adalah perkara yang aneh untuk menjadi sebuah tanda kekuasaan Allah dan perkara yang mengagumkan pada ketentuan hikmah-Nya. Hingga beranggapan tidak ada kisah dan peristiwa lain yang sepadan dengannya.
Tanda-tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta'ala yang menakjubkan lagi aneh, setaraf dengan tanda-tanda kebesaran-Nya pada ash-habul-kahfi, bahkan yang lebih besar dari peristiwa tersebut sangat banyak. Allah Subhanahu wa Ta'ala senantiasa memperlihatkan kepada para hamba-Nya tanda-tanda kebesaran-Nya di langit, bahkan pada diri mereka sendiri, sehingga kebenaran menjadi jelas dari kebathilan, menjadi jelas pula antara petunjuk dibandingkan dengan kesesatan. Penafian ini tidak ditujukan, kalau kisah ash-habul- kahfi ini termasuk perkara yang menakjubkan. Justru, kisah ini termasuk salah satu tanda kekuasaan Allah yang mengagumkan.
Akan tetapi, sekali lagi maksud peniadaan ini ialah, bahwa peristiwa semacam itu sangat banyak. Jika kekaguman tersebut hanya terpaku dengan kisah ini saja, maka itu berarti mencerminkan kedangkalan ilmu dan akal. Karena seorang mukmin, semestinya merenungi seluruh tanda-tanda kekuasaan-Nya, yang dengannya Allah Subhanahu wa Ta'ala mengajak para hamba-Nya agar memikirkannya. Karena, memikirkan tanda-tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta'alamerupakan kunci keimanan, jalan menuju ilmu dan keyakinan.[3]