BAB IV - For Sure

0 0 0
                                    

Hari minggu sekolah sangat sepi, seluruh siswa pulang ke rumah masing-masing. Bahkan mungkin di gedung asrama kelas 11 hanya tersisa anak-anak beasiswa yang lebih memilih menghabiskan waktu di perpustakaan untuk belajar. Ya, mereka hanya memiliki kekuatan di bidang akademis sehingga harus berjuang mati-matian untuk bertahan.

Begitu juga dengan Zoe, ia memilih mengisi paginya untuk mencuci pakaian. Dibawanya sekeranjang pakaian kotor menuju ke ruang cuci. Jelas, disana hanya ia sendiri. Bahkan siapa yang mencuci di sini? Bahkan anak beasiswa hanya berjumlah 3 orang di angkatanya.

Zoe memasukkan baju-baju ke dalam mesin cuci dan memasang earphone ke dua telingannya, hingga ia tak sadar seorang laki-laki masuk ke ruang cuci kemudian mengunci pintu tersebut dari dalam.

Laki-laki tersebut berjalan mendekat ke arah Zoe, tangan kanannya meraih pinggang Zoe yang terbebas dan menariknya ke dalam pelukkan. Tangan kirinya ia gunakan untuk mengambil alih wajah Zoe dan kemudian mendaratkan bibirnya pada bibir Zoe. Kejadian tersebut hanya berlangsung dalam sepersekian detik sehingga Zoe tidak menyadari apa yang ia lakukan.

Hanya saja, ya, Ia menikmatinya.

Dia, Arsen.

Arsen mengulum lembut bibir Zoe, merasakan setiap helaan napas yang gadis itu hembuskan, merasakan desiran detak jantung yang terasa begitu cepat di antara keduanya.

Gadis itu mulai memejamkan matanya perlahan, menikmati aroma yang telah lama ia rindukan, menikmati perlakuan Arsen pada bibirnya, menikmati usapan tangan yang membelai pipinya, menikmati kupu-kupu yang berterbangan menghiasi perutnya.

Zoe menjatuhkan pakaian di tanggan kanannya, mencoba meraih tengkuk Arsen untuk membawanya ke dalam euforia yang lebih dalam. Seolah mendapat persetujuan, Arsen semakin mempererat pelukkannya dan membawa Zoe jatuh semakin dalam.

"Ahh," desah Zoe saat Arsen tidak sengaja menggigit bibir bawahnya. Hal ini membuat Zoe langsung tersadar dengan apa yang terjadi saat ini. Ia membulatkan matanya dan mendorong kuat-kuat tubuh Arsen untuk menjauh.

"Zoe?" Tanya Arsen dengan nada khas saat memanggilnya

Zoe menutup mulutnya tak percaya, Ia kemudian mengambil bajunya yang ia jatukan dan memasukkan ke dalam mesin cuci. Ia menjalankan mesin cuci dan mencoba mengabaikan Arsen.

"Zoe, sorry," ucap Arsen yang mungkin telah ribuan kali ia katakan kepada gadis itu.

"Zoe, please," ucap Arsen memohon, Ia bahkan berdiri di depan pintu sehingga Zoe tidak dapat keluar dari sana.

"Tolong buka kuncinya," ucap dengan mencoba menarik nafas dalam-dalam untuk mencoba mengatur emosinya.

"Oke, aku buka. Tapi tolong maafin aku." Arsen memohon dengan sangat di hadapan Zoe. Segala cara telah ia coba dalam waktu kurang lebih satu tahun ini. Zoe selalu mengabaikannya, bahkan tidak pernah sekalipun mereka berbicara setelah kejadian tersebut. Ini adalah pertama kalinya.

"For what? there is nothing to forgive," ucap Zoe dengan menatap tajam ke arah Arsen, menandakan bahwa ia bisa saja marah sebentar lagi jika Arsen tak kunjung membuka pintu.

Arsen menghembuskan napas kasar ke arah langit-langit ruangan. Mencoba memohon pada Zoe di situasi ini sangatlah tidak mungkin. Dengan pasrah Arsen akhirnya membuka kunci pada pintu.

Namun sayang, saat Arsen hendak menarik daun pintu sebuah suara muncul dari dekat tangga. Keduanya sama-sama terkejut, Zoe dengan sigap langsung menarik Arsen untuk bersembunyi di gudang tempat cuci, bersamaan dengan mesin cuci rusak.

Zoe bahkan tidak mengira masih ada siswa disini, biasanya hanya akan ada dirinya sendiri di hari Minggu. Detang jantung Zoe berdetak semakin kencang ketika ternyata terdapat tiga siswa masuk ke ruang cuci. Ia tidak dapat melihat dengan jelas ketiga namun ia dapat dengan jelas mendengar apa yang mereka bicarakan dan lakukan.

"Woy, cepet keluarin rokoknya."

"Sialan, gue dirumah tersiksa anj*r, jangankan ngerokok, makan aja gatenang c*k."

"lu asrama, lu bebas ngapain aja, haha"

Seperti itulah kira-kira percakapan yang mereka lakukan. Tetapi saat ini Zoe tidak peduli apa yang mereka lakukan, Zoe hanya kesal. Mengapa mereka harus melakukannya di sini.

Zoe mendesar frustasi, sampai Ia lupa bahwa masuk ke ruangan ini bersama Arsen. Posisi mereka terhimpit berhadap-hadapan. Bahkan untuk bergerak ke kanan dan kekiri sudah tidak dapat di lakukan. Mereka hanya dapat saling bertatapan.

Arsen tersenyum hangat ke arah Zoe, melihat Zoe yang masih peduli terhadapnya.

Zoe menatap Arsen sekilas, melihat senyumnya yang begitu manis, membuatnya terbuai kedalam memori-memori indahnya.

Tidak.

Zoe secepat mungkin memejamkan matanya dan berharap agar ketiga orang tersebut segera pergi saat ini juga. Sedangkan Arsen malah tersenyum kecil melihat tingkah Zoe.

Arsen kemudian mendekatkan wajahnya ke telinga kanan Zoe untuk berbisi, "Kenapa? Wanna play again?" tanya Arsen dengan nada menggoda.

Zoe terkejut lalu mendorong Arsen kebelakang.

"Gil-hmphh" mulut Zoe di bekap oleh tangan kiri Arsen. Sedangkan tangan kanannya Ia gunakan untuk melindungi belakang kepala Zoe yang hampir terbentur tembok di belakangnya.

"Woy anjir suara apan tuh," ucap salah satu dari ketiga orang yang ada di sana.

---

Evolusi MimpiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang