4. Sangkuriang

10 3 0
                                    

Di rumah, Aluna nampak asyik bermain Bersama Fatia. Rumah yang cukup besar itu pun terasa begitu hidup karena keceriaan yanga anak itu tebarkan. Dan sekarang anak kecil itu tengah asyik menumpuk balok mainan di bantu oleh Fatia sampai akhirnya anak itu berseru, “Yeay! Istana Una udah jadi!"

Fatia dengan bangga memberinya tepuk tangan dan ucapan selamat. Lalu anak itu bertingkah seperti tuan putri yang suka memerintah rakyatnya dengan menunjuk Fatia sambil berkata, “Kak Tia! Sekarang Una mau denger cerita!”

“Una mau denger cerita apa nih?,” tanya Fatia yang terlampau senang pada keimutan anak itu.

“Apa aja! Yang penting Kak Tia cariin Una cerita yang bagus!,” seru anak itu sambil berkacak pinggang.

Keimutannya semakin membuat Fatia tak henti-hentinya menahan tawa kerasnya. Dia langsung bangkit dan berjalan menuju rak buku untuk mencari buku dongeng yang biasanya dia bacakan untuk anak itu. Saat tengah mencari buku itu, dia mendapati buku kecil berjudul Sangkuriang. Tidak pernah Fatia melihat buku itu sebelumnya.

“Sangkuriang tuh yang ibunya awet muda itu kan ya?,” tanya Fatia pada dirinya sendiri. Karena biasanya Fatia membacakan cerita dongeng barat seperti Cinderella dan Putri Duyung,  dia jadi melupakan dongeng Nusantara yang sebenarnya juga menarik.

Untuk memastikannya ia membuka isi buku itu, lalu dia mendapati dongeng bergambar yang sangat indah. Sangkuriang digambarkan dengan sangat gagah dan tampan, lalu Dayang Sumbi digambarkan dengan sangat cantik bak bidadari. Sesaat Fatia merasa seperti memasuki dunia dongeng yang penuh misteri. Lalu seketika Fatia tersadar dan melihat tanda tangan kecil di setiap sudut gambar di buku itu.

“Jadi Kak Nidera yang gambar buku ini, ya? Seingetku dulu Kak Nidera mau jadi komikus, wajar sih, gambarannya bagus banget..” gumam Fatia dengan tatapan mata yang berbinar.

Dengan penuh semangat ia pun menunjukkan buku itu kepada Aluna dan menanyakan pendapatnya, “Una! Kalo cerita Sangkuriang gimana?”

Senyap, taka ada jawaban, bahkan Aluna tidak ada di tempatnya duduk tadi. Dia menyapu pandangan mencari Aluna dari satu sudut ke sudut lainnya. Namun ia sama sekali tidak mendapati anak manis itu. “Aluna! Kamu dimana?,” tanyanya sambil melangkah mencari anak itu.

“Aluna! Jangan bercanda yuk! Tadi kan Aluna minta dibacain cerita!,” serunya yang mulai merasa panik.

Disisi lain, Nidera yang sedang menikmati jam makan siang di kantornya nampak asyik bercengkrama dengan rekan-rekan sekantornya sambil menyantap makan siang mereka. Salah satu rekannya nampak paling heboh dengan menceritakan kemampuan Nidera dalam menggambar. Katanya gambaran Nidera sangat indah dan patut dihargai dengan harga yang mahal.

“Biasa aja ah!,” kata Nidera yang tidak mau menonjolkan dirinya.

“Ih.. beneran Nid! Kalo kamu jadi seniman, kaya raya kamu!,” kata rekannya itu.

“Mbak Mei..,” panggil Nidera pelan. Dia nampak berusaha menenangkan celotehannya dengan sabar.

Rekan-rekannya yang lain hanya dapat tertawa melihat tingkah Mba Mei yang sulit dihentikan kalau sudah mulai bicara. Lalu rekan yang lain ikut menyahuti dengan berkata, “Mbak Mei.. Mbak Nidera tuh walaupun gak kerja tetep kaya kok.. kan suaminya direktur Perusahaan..”

“Hehe.. iya, ya.. untung gak seperusahaan sama suami Nid.. kalo seperusahaan apa lagi sekantor, dah jadi kayak di drama-drama ya..” sahut Mbak Mei iseng.

Nidera tetap berusaha sabar menanggapi mereka, lalu berkata, “lagian kan Mbak Mei yang minta dibuatin buku ceritanya..”

Mbak Mei tersenyum, lalu berkata, “Iya.. makasih loh Nid.. udah gambarin buku cerita buat anakku.. haha.. dia suka banget katanya..”

The Magician of FLOWSLEE world Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang