"Kamu boleh menangis, kamu boleh berteriak, kamu boleh berlutut sambil memohon belas kasihan, namun seluruh dunia tidak akan mendengarmu, segalanya akan tetap sama."
~
Jumat 04.00 pagi.
Jennie tiba-tiba terbangun dengan rasa sakit yang menusuk di kepalanya. Tenggorokannya terasa gatal dan bengkak, piyama merah mudanya bermandikan keringat.
Dia berasumsi bahwa penyakit menjengkelkan lainnya telah memasuki tubuhnya. Dia merasa terlalu lemah untuk berdiri dan mengambil obat dari kamar mandi sehingga dia memutuskan untuk memangil ibunya.
"Eomma!" Jennie berteriak sekuat tenaga, suaranya terdengar kasar dan serak. Rasa sakit yang menusuk muncul setelah jeritan itu.
Jennie mencoba menelan air liur untuk meringankan rasa sakitnya, tetapi rasa sakit itu tidak kunjung hilang. Tenggorokannya masih terasa perih.
Beberapa detik kemudian, Nara muncul di dalam kamar, wanita itu mengenakan jubah berwarna ungu muda yang menutupi tubuhnya dari hawa dingin.
Saat melihat keadaan pakaian putrinya, dia segera meletakkan tangannya ke dahinya untuk mengukur suhu tubuhnya.
"Ya Tuhan Jennie... kamu demam lagi nak." Kemudian dengan gesit, Ibunya menuju ke kamar mandi kecil yang terletak di kamar gadis bermata kucing itu dan kembali membawa obat.
"Eomma akan mengisi bak mandi dengan air dingin untuk menurunkan suhu tubuhmu."
Jennie hanya mengangguk. Dia dengan cermat mengamati setiap gerakan yang dilakukan ibunya. Wajah Nara dalam kekhawatiran yang luar biasa dan rasa bersalah merayapi tubuh Jennie saat dia menatap wanita lelah yang telah melahirkannya ke dunia.
Selama enam belas tahun itu, Nara telah mengabdikan dirinya dengan setia untuk merawat putrinya yang sakit. Itulah yang membuat Ibunya selalu tampak kelelahan.
Sedikit demi sedikit, Jennie mulai memahami sesuatu.
Ibunya harus bekerja keras setiap hari agar bisa merawat putrinya yang hampir selalu sakit itu. Tiba-tiba Jennie tidak lagi merasakan kebencian terhadap Ibunya,
Bertahun-tahu Nara telah mendedikasikan perhatiannya secara eksklusif kepada Jennie tanpa memberikan waktu istirahat untuk dirinya sendiri.
Jennie perlahan menurunkan pandangannya, dia menggigit bibir bawahnya dengan keras hingga tanpa disadari bibirnya mulai berdarah.
"Jennie, jangan menyakiti dirimu sendiri sayang. Bak mandinya sudah penuh, kamu sudah bisa masuk."
Nara berbicara dengan kasih sayang bercampur dengan kelelahan dalam suaranya.
Jennie mengangguk pelan lalu bergerak perlahan menuju kamar mandi. Nara tetap di kamar sambil mengganti seprai yang basah oleh keringat.
"Sebaiknya kamu tidak pergi sekolah hari ini, kalau hari sudah terang, Eomma akan menelepon kepala sekolah dan memberi tahu dia tentang kondisimu."
Jennie tidak menjawab karena dia tidak punya kekuatan. Dia ingin memberitahu Ibunya bahwa dia akan pergi ke sekolah karena dia harus meminta maaf pada Rosé karena tadi malam dia telah berperilaku sangat buruk padanya.
Namun gadis bermata kucing itu tahu bahwa ibunya pasti akan tetap menolak, jadi dia memutuskan untuk diam, karena tidak ada gunanya memohon.
Setelah mandi sebentar, Jennie mengenakan kemeja katun putih yang nyaman dan celana piyama berwarna abu-abu.
Dia perlahan meninggalkan kamar mandi menuju kamar, disana ibunya sudah tidak ada lagi, tapi ada nampan kecil berisi secangkir teh di meja samping tempat tidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
SOME THING I'LL NEVER KNOW (GXG)
Fanfiction"Wajah cantikmu tersenyum lelah, sepertinya kamu sakit, baiklah aku tidak akan menyakitimu lagi... Tapi, hanya itu yang bisa aku lakukan, karena kebahagiaan menyerbu hatiku setiap kali aku melihatmu menitikkan air mata."