Aku terbangun, ketika suara alarm berhasil mengakhiri tidurku. Hujan kemarin malam cukup besar dan lantai terasa dingin seperti es, apalagi aku tidur hanya beralaskan karpet dan selimut yang tipis. Sepertinya aku harus membeli selimut yang baru, setelah mendapat gaji bulan ini.
Tidak, aku harus membatalkan keinginan ini. Uangku tidak akan cukup untuk membeli selimut baru. Setelah membayar uang kos bulan ini dan UKT semester tujuh, sisa uangnya masih harus aku gunakan untuk kehidupan sehari-hari.
Boro-boro membeli selimut, aku bahkan terancam dropout karena tidak mampu membayar kekurangan hadir di kelas.
Apa ada hal di dunia ini yang tidak memerlukan uang?
Aku sangat percaya pada pepatah 'apapun dapat dibeli dengan uang.' Tidak ada gunanya meratapi nasib menyedihkan ini. Tidak ada orang yang bisa aku bagikan tentang keresahanku setiap harinya.
Dulu sekali, aku pernah meminta kepada Tuhan. Apakah dia bisa membunuhku seperti sebuah seni ketika bulan muncul? Atau menarik nyawaku akibat tak memiliki uang untuk makan. Aku tidak meminta untuk masuk surga. Mati adalah tingkat tertinggi untukku bersyukur.
Namun sekarang, aku hanya ingin bertahan hidup. Menjalani hari-hariku yang monoton, mirip kaset putar yang selalu menyimpan rekaman dalam diam.
Perutku keroncongan, padahal jam masih menunjukkan pukul sepuluh pagi. Jika aku makan sekarang, aku akan lapar lagi di jam tiga sore. Namun, aku tidak bisa menolak 'kan? Apalagi hari ini harus ke kampus karena ujian. Dengan terpaksa, aku menanak nasi dan menggoreng telur untuk mengisi perutku yang sudah bernyanyi meminta untuk segera diisi.
Sambil memasak, aku memandangi ember penuh air hujan, karena atap kos bocor, bekas hujan badai kemarin malam.
Memang, sial adalah kata yang sangat melekat di kehidupanku. Untung saja hari ini telur yang digoreng tidak menghitam, jadi sarapan kali ini cukup nikmat. Pagi yang baik, untuk mengawali hari Senin dengan senyuman.
Aku bergegas, menuruni anak-anak tangga dari lantai lima. Untungnya kampus aku tidak terlalu jauh dari kos.
"Lama!" kesal Gemi padaku. Dia mungkin sudah menunggu 20 menit di parkiran mobil. Padahal aku tidak memintanya untuk menunggu, tapi dia yang berinisiatif. Kenapa dia melampiaskan marahnya padaku?
"Maaf." Hanya itu yang bisa kukatakan pada Gemi. Dia adalah satu-satunya teman yang menempel padaku layaknya perekat kertas. Aku tidak ingat, entah kapan kami memiliki hubungan pertemanan yang baik.
Gemintang Zahra Purnama, gadis imut dengan rambut panjang yang bergelombang. Aku senang memanggilnya Gemi. Dia gemar mengenakan aksesoris lucu dan pintar merias wajah. Sangat berbeda dengan aku yang selalu tampil urakan. Lihatlah penampilannya sekarang, orang-orang mungkin mengira dia akan tampil di layar lebar dengan kecantikannya hari ini.
"Lo tuh gila Ara, tahu 'kan hari ini matkulnya bu Iriani?" Aku tahu itu, aku hanya telat bangun.
Menghadapi dosen seperti bu Iriani yang killer tentu menguras banyak tenaga, aku juga perlu mempersiapkan mental untuk menghadapi kelas hari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dongeng Sesudah Tidur
FantasyDi alam dongeng yang penuh dengan sihir dan keajaiban, Maya Miralen, seorang Elf yang penuh semangat, memulai sebuah petualangan yang luar biasa. Dia berhasrat mencari bunga emas yang konon dapat mengabulkan satu permintaan apa pun. Namun, kisahnya...