13. Nginap

20 11 0
                                    


HAPPY READING!!!

Rivan dengan cepat mengeluarkan ponsel dan menelpon polisi. Tapi, sayang ponselnya tidak bisa menghubungi polisi. Di saat yang sama para karyawan kafe menuju ke kamar mandi.

Para karyawan perempuan masuk ke dalam toilet dan membopong keluar wanita yang nyawanya entah masih selamat atau tidak. Aliesha menatap aneh para karyawan, melihat seseorang yang terbunuh ekspresi mereka terlihat biasa, tidak terkejut atau takut seperti ekspresi Bahana, seolah mereka sudah terbiasa.

Aaron memeluk Bahana ke dalam pelukannya, menenangkan Bahana yang masih gemetar. Aliesha ikut menenangkan Bahana. Sedangkan Rivan berusaha untuk memanggil polisi atau ambulance tapi tidak bisa karena akses internet di batasi.

"Sial, gua tahu kalau mereka ngelarang kita buat berkomunikasi dengan dunia luar, tapi, kenapa mereka juga ngelarang kita untuk nelpon nomor darurat," keluh Rivan.

"Gue tahu alasannya." Aliesha menatap Rivan, Rivan mengetahui tatapan itu dan kembali menjadi tenang.

"Ron, mending kita balik ke asrama, besok kita lanjutin diskusi ini," saran Aliesha setelah melihat betapa ketakutannya Bahana.

Aaron mengangguk setuju, membantu Bahana berdiri. Mereka pun keluar dari kafe, berjalan menuju asrama.

•••••

Aliesha melempar handuk ke kursi, merebahkan dirinya di ranjang empuk kesayangan, ruangan ini cukup besar untuk di jadikan kamar asrama, batin Aliesha. Matanya menatap langit-langit kamar, merasa sangat berat dan memutuskan untuk menutup matanya.

"Aliesha, lo gak ada makanan kah? perut gua undah memberontak nih." Suara Bahana berhasil membangunkan Aliesha. Aliesha kembali membuka matanya dan berjalan ke kulkas, mengambil beberapa camilan dan melemparkannya ke Bahana. "Nih, cuma ini yang ada."

Bahana menangkap semua makanan yang di lemparkan oleh Aliesha, menyusun semua makanan di meja belajar.

"Maaf, ngerepotin, by the way, makasih udah ngijinin gua nginap di kamar lo." Bahana membuka kemasan kripik dan memakannya.

"hmm."

"Ya elah, cuek amat lo jadi orang, masak jawab terima kasih orang cuma pake gumaman, hmm, hmm, hmm." Bahana tertawa di akhir kalimatnya.

"Iya, iya, eh kalau lo sama Aaron saudaraan kok marga kalian beda sih? Aaron Raymond? Bahana Dirga?" Aliesha bertanya dengan raut wajah yang penasaran. Ia sudah tahu kenapa Aaron dan Bahana begitu saling peduli satu sama lain. Aaron memberi tahu tentang hubungannya dengan Bahana selama perjalanan mereka menuju ke asrama.

"Hmm, kalau gua jelasin sekarang ribet, malas, intinya gua ikut marga mak sedang Ron ikut marga bapak gua." Jawaban singkat Bahana langsung meresapi otak cerdas Aliesha.

"Maaf, kalau gua nyinggung perasaan lo, tapi, orang tua lo cerai?"

Tebakan Aliesha membuat Bahana berhenti mengunyah, raut wajahnya menjadi sendu, "yes, right."

Aliesha terdiam melihat ekspresi Bahana. Ia merasa bersalah karena telah menanyakan pertanyaan yang membuka kembali kenangan buruk temannya. Turun dari ranjangnya dan menarik keluar kasur kecil yang ada di bawah ranjangnya. Sepertinya asrama memang sengaja memberi dua kasur.

"Yuk, tidur, gua udah ngantuk banget." Aliesha bergerak merapikan makanan yang berserakan di meja. Bahana juga bergegas menolong Aliesha.

Setelah semuanya bersih, mereka berdua berbaring di ranjang masing-masing, "gua minta maaf, seharusnya gua gak nanyain itu ke lo."

Bahana menggeleng, "ga, gak papa, gua juga berterima kasih karena lo mau menumpangi beban kayak gua."

Ucapan Bahana melepaskan suasana tegang dan menjadi ceria karena dua gadis tersebut tertawa.

•••••

Seseorang berdiri di depan gedung asrama dengan memegang pistol.

"Let's start this game."

←----------→

Silakan tinggalkan jejak seperti vote atau komen

see you in the next chapter

Published: 26 Juni 2024

Class of MurdersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang