3

60 14 0
                                    

Shabylla’s pov
06:00 WIB

Aku memandang taman rumah sakit yang cukup ramai, terlihat lumayan banyak pasien yang berada disini. Sama sepertiku, mereka pasti bosan di ruang rawat dan ingin menatap pemandangan luar.

Aku menunduk, menatap cincin yang melingkar di jari manis tangan kananku. Bagaimana bisa aku tidak melihatnya kemarin?

Aku terlalu panik hingga tak bisa berpikir jernih dan tidak memperhatikan hal kecil seperti ini.

Kemarin Mas Ikram sudah menceritakan segalanya, dari mulai kami bertemu untuk pertama kalinya hingga pertengkaran hebat yang membuatku kecelakaan. Hidup kami dipenuhi dengan kebahagiaan sebelum badai datang dan menghantam kebahagiaan kami. Aku bersyukur karena alasan kami bertengkar bukanlah karena orang ketiga, tetapi karena sifat gila kerja Mas Ikram kambuh. Ya semoga saja ini pertengkaran hebat terakhir kami.

Aku dan Mas Ikram bertemu saat meeting proyek baru kolaborasi perusahaan kami. Hubungan kami terus berlanjut setelah proyek selesai dan ternyata kami menikah empat bulan setelah berpacaran. Bukankah itu mengesankan? Ku pikir aku tidak akan sanggup menikah sebelum usia tiga puluh tahun, tetapi dengan yakinnya aku menerima pinangan seseorang yang lima tahun lebih tua dariku itu.

Berdasarkan cerita Mas Ikram, setelah menikah aku menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya. Mengurus suamiku itu hingga kami memiliki putri cantik dan hidup bahagia bertiga selama bertahun-tahun. Hal ini pun membuatku terkejut, semua orang tahu aku berprinsip wanita harus tetap bekerja meskipun telah berkeluarga.

Apa yang membuatku menggantungkan hidupku sepenuhnya pada Mas Ikram? Pertanyaan itu bahkan belum bisa ku jawab hingga detik ini.

Mengenai hubunganku dengan Mas Ikram, sebenarnya aku belum bisa 100% persen menerimanya. Aku sengaja memintanya tidur di sebelahku agar dia tak lagi terasa asing dan aku bisa membuka hati padanya. Hey, walau bagaimanapun saat ini jiwaku masih di usia 26 tahun dan belum mengenal Mas Ikram sepenuhnya.

Semoga saja rasa itu cepat tumbuh, dengan begitu aku tidak mengecewakan orang sebaik Mas Ikram. Sebisa mungkin aku tak merasa canggung disekitarnya dan bersikap layaknya seorang istri pada suaminya.

Apa aku terlalu memaksa?

Ku pikir tidak, aku hanya perlu membiasakan diri dengan kehidupanku yang sekarang. Walau sebenarnya ada banyak pertanyaan yang muncul di benakku. Salah satunya, kenapa aku terdampar ke masa depan? Apa tujuan dari takdir ini? Bukankan Tuhan tidak akan menakdirkan sesuatu tanpa tujuan?

“Ayo Dami, kemarilah.” suara Mas Ikram membuyarkan lamunanku, spontan aku menoleh ke arahnya. Senyumku mengembang saat melihat bocah kecil berusia empat tahun melangkah ke arahku malu-malu. Di tangannya ada setangkai bunga warna berwana merah muda, bunga favoritku?

Dami menatapku beberapa detik sebelum menunduk dan menyembunyikan tubuhnya di belakang Mas Ikram. Hey, apakah dia merasa asing denganku?

"Kenapa kau bersembunyi? Bukankah tadi kau ingin memberikan bunga favorit Mami?” Mas Ikram menatapku dan Dami bergantian, tangannya mengelus lengan Dami yang masih saja bersembunyi di balik kakinya.

Aku tersenyum dan mencondongkan tubuhku padanya, tanganku terulur mengelus lembut puncak kepalanya dan turun ke pipi chubbynya. Sorot mata sendu Dami berubah berbinar, ia menatapku dan mengerjap-ngerjap.

“Sayang, ini Mami.” Dami mencebikkan bibirnya dan melangkah ke arahku, matanya berkaca-kaca begitu tangannya terulur memberikan setangkai bunga di tangannya.

“Untuk Mami? Terima kasih, sayang.”

“Mami!” Dami memeluk lututku dan menangis di pangkuanku, aku menatap Mas Ikram yang sama-sama terkejut.

Garis WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang