6

57 11 0
                                    

Shabylla’s pov
-Halaman Belakang-
06:30 WIB

Aku menatap seseorang di depanku yang entah kenapa sejak tadi senyuman terus melekat di bibirnya. Sangat berbeda dengan caranya menatap istrinya sendiri, dingin dan tak peduli. Sekarang saat menatapku, kedua matanya penuh kehangatan dan kasih sayang.

Kenapa aku tidak melihatnya saat di rumah sakit?

Kami terlibat obrolan seru mengenai pekerjaan hingga tak sempat melihat kedua matanya. “Jadi, apa yang ingin kau bicarakan? Kau menyebutkan tentang masa lalu kita?” mataku melirik seseorang yang bersembunyi di gazebo belakang, kedua matanya penuh kecemburuan terlihat jelas darisini.

“Hmm, iya. Tentang kenapa kita bisa putus dan Mas Adit menikah dengan mantan kekasih Mas Ikram. Ada apa sebenarnya, Mas? Aku tidak sepenuhnya mengingat tentang itu, bisa membantuku mengingatnya?”

Mas Adit mengerjap-ngerjap, matanya terlihat terluka sekarang. Entah karena pembahasan mengenai hubungan kami yang kandas atau karena aku tidak mengingatnya. “Kau serius ingin membahas ini?” Aku mengangguk mantap, Mas Adit menelan ludahnya dan menatap lurus ke halaman belakang yang dipenuhi pohon mangga.

“Kita putus karena aku belum siap menikahimu.” Hah? Mas Adit menatapku dengan segenap penyesalannya. “Wajar bagimu menuntuntutnya dariku, apalagi setelah hubungan yang berjalan dua tahun lamanya. Sama seperti yang lain, kamu pun butuh kepastian.”

WHAT?

“Lalu Mas memilih untuk melepaskanku? Karena apa?”

“Pembukaan cabang Mochi&Puthu di Bali. Bu Canberra sendiri yang mempromosikanku menjadi manager eksekutif disana. Hubungan kita harus berakhir karena ambisiku, terlebih setelah kau memilih tetap berada di kantor pusat.”

Aku tersenyum, dia dengan manusia bernama Rachel benar-benar berjodoh. Lebih memilih pekerjaan daripada pasangan? Menggelikan!

Hmm, melihat situasinya haruskah aku sedikit berdrama?

“Lalu, bagaimana bisa Mas menikah dengan Rachel?”

“Aku dan Rachel bertemu di salah satu klub malam di Bali, kami sama-sama terpuruk karena masing-masing dari pasangan kami menikah. Kami sangat menyesal karena lebih memilih pekerjaan daripada pasangan, lalu kami sepakat untuk melakukan sesuatu.” Mas Adit terlihat bimbang, antara menceritakannya padaku atau tidak.

“Apa?”

“Kami memutuskan untuk bekerjasama memisahkan kalian.”

Gila!

“Tap- tapi aku tidak melakukannya, sungguh. Melihatmu bahagia dengan adikku sudah cukup bagiku.” Aku menatap kedua matanya lekat-lekat, tidak ku temukan kebohongan disana.

"Aku tidak setega itu memisahkan kalian. Jika kebahagiaanmu ada pada adikku, apa yang bisa ku lakukan selain mengikhlaskan?”

“Ikhlas? Lalu apa yang Mas lakukan selama ini bentuk mengikhlaskan?” Mas Adit tidak menjawabku, dia hanya menatapku saja. “Sama sepertiku, Mas juga berhak hidup bahagia. Membuka lembaran baru dengan orang baru dan suasana baru. Semuanya sudah mendukung, Mas. Tapi kembali lagi padamu, Mas mau atau tidak.”

“Aku tidak memiliki perasaan apapun pada Rachel.”

Aku tersenyum dan menggeleng, “Kalian hidup bersama empat tahun lamanya, tidak mungkin tidak ada rasa apapun. Pasti rasa itu ada, tapi kalian menolaknya.” Mas Adit hanya menghela napas panjang.

“Mas, ada baiknya lupakan saja masa lalu diantara kita dan hiduplah bahagia dengan orang baru. Ikhlas memanglah sulit, tapi jika terus mencoba pasti bisa. Mas Adit orang yang baik dan berhak bahagia.”

Garis WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang