18

48 14 4
                                    

Ikram’s pov

Ku langkahkan kakiku memasuki rumah dengan senyuman yang tak lepas dari wajahku. Menghabiskan waktu dengan seseorang yang kau cintai memang menaikkan mood dan menjalani kehidupan terasa lebih mudah.

Tanganku terulur membuka pintu rumah dan mendorongnya, hal pertama yang ku lihat adalah kakakku yang duduk si sofa single dengan minuman di tangannya.
Oh jangan lupakan tatapan tidak bersahabat itu.

FYI, hubungan kami memburuk setelah Mas Adit memutuskan mengundurkan diri dari proyek yang kami tangani bersama demi Proyek Bali.

Aku kecewa dengan sikap ketidakprofesionalannya itu dan kami bertengkar hebat kemarin. Bahkan jika kemarin tidak ada kedua orang tua kami dipastikan tragedy berdarah terjadi. Proyek sialan itu tak hanya merusak hubunganku dengan Rachel, tapi juga dengan kakakku sendiri.

“Pergi kemana saja kau dengannya? Sejak kapan kalian dekat? Dan bagaimana kau bisa mengenalnya? Kau bahkan tidak datang dalam rapat beberapa hari lalu, jadi kau tidak tahu siapa partnerku dalam mengerjakan proyek itu. Setelah putus dari Rachel, kau mengincarnya?”

“Bukan urusanmu.” kataku mengabaikannya dan langsung melangkah menuju kamarku yang berada di lantai dua.

“Senang sekali setelah merebut milik orang lain.” Perkataannya membuatku terhenti, aku menoleh ke arahnya yang melangkah padaku dengan tatapan tajam. “Kau senang telah merebut milik kakakmu sendiri?”

Aku mengeluarkan smirk, “Milik? Atas dasar apa kau menyebutnya milikmu?” Kedua tangannya mengepal kuat, wajahnya semakin memerah saja karena amarah. “Dia bukan milikmu dan tidak akan pernah menjadi milikmu.”

“Menjauhlah darinya atau kau mendapatkan akibatnya. Shabylla adalah milikku dan selamanya menjadi milikku.”

Aku tertawa mengejek, “Teruslah bermimpi.”

Bug

Sebuah tinju yang tak terduga mendarat di pipiku, tubuhku terhuyung ke samping dan hampir jatuh jika tidak memegang tembok. “Berani sekali kau berkata seperti itu padaku! Mau menjadi adik yang pembangkang sekarang? Kau pikir kau siapa? Kau pikir kau lebih hebat dariku?”

Aku tersenyum dan mengelap darah yang merobek ujung bibirku, “Kau yang terlebih dahulu bersikap menyebalkan. Hmm, apakah laki-laki pengecut itu yang hanya bisa melihatnya dari jauh tanpa ada keberanian mengungkapkan secara langsung? Membuat kalimat membingungkan padahal perempuan membutuhkan kejelasan.”

“Sekali kau bicara, akan ku buat kau tak bisa bicara lagi.”

Aku tertawa mendengar ancamannya yang sama sekali tak membuatku takut. Apakah dia pikir hanya dia saja yang bisa memukul? Aku pun bisa menghajarnya habis-habisan karena telah berani membuat seseorang yang ku cintai menangis.

“Kau ini benar-benar aneh. Sudahlah, urusi saja proyek sialanmu itu. Bagimu Shabylla tidak lebih berharga dari proyek Bali itu kan? Jika dia berharga untukmu, tidak mungkin kau meninggalkannya hanya karena pekerjaan. Pengecut!”

“Ikram!” Mas Adit melangkah ke arahku dan mencengkeram kerah kemeja yang ku pakai. Tangannya mengepal dan terangkat ke udara, ia memukulku kedua kalinya. Kali ini aku tidak tinggal diam, aku membalas pukulannya hingga ia terhuyung ke belakang. Belum ia bangkit ku layangkan kembali pukulan ke wajahnya. Aku tersenyum melihatnya terbaring tak berdaya, aku berbalik dan berjalan ke arah tangga. 

Bug

Tiba-tiba tubuhku terhuyung ke depan karena tendangan yang sangat kuat mengenai punggungku. Aku terjatuh di anak tangga dan kepalaku terantuk bagian ujungnya. Mas Adit meraih kerah kemejaku dan menarik tubuhku kasar.

Garis WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang