16

48 14 2
                                    

Ikram’s pov

Kedua tanganku mengepal kuat, dua bulan terakhir Rachel selalu saja sibuk dengan pekerjaanya. Bolak-balik melakukan perjalanan Kediri-Bali dan menguras kebersamaan kami. Dia juga berubah menjadi Rachel yang cuek dan tak lagi seramah dulu. Mudah marah akan hal kecil yang menurutku tak perlu dibesar-besarkan.

Apa karena keadaan ini yang membuatku berhalusinasi mengenai Shabylla?

Tapi, Shabylla sangat nyata. Semua kejadian yang terjadi dalam mimpiku pun terasa nyata, terlebih perasaanku sekarang. Bukankah aku laki-laki pengecut?

Hatiku milik perempuan lain sedangkan aku sendiri memiliki kekasih, ya walaupun hubungan kami sedang tidak baik-baik saja setidaknya aku berusaha setia.

Apakah sikapku ini kekanak-kanakan?

Dulu aku menentang Rachel menangani proyek itu dengan alasan quality time yang semakin berkurang dan rencana pernikahan kami. Tapi Rachel berhasil membujukku, ia bilang akan membagi waktu dan proyek Bali berakhir sebelum pertengahan tahun.

Nyatanya itu tidak terjadi, proyek sebesar itu tidak akan selesai dalam waktu dekat. Artinya rencana pernikahan kami akan kembali diundur.

“Tunggu!” aku berhenti begitu tangan seseorang menariku tanganku, “Kenapa kau jadi seperti ini, Ikram?” Rachel berdiri di depanku dengan wajah marahnya.

“Kau tidak pernah lagi mendukungku dan tidak pernah lagi mendapingiku. Apa yang terjadi padamu, hah?” Rachel mendorongku dengan kedua tangannya.

“Hampir dua bulan sikapmu berubah dingin, kau tidak lagi sehangat dulu dan kau selalu saja sibuk dengan pikiranmu. Sebenarnya apa yang terjadi padamu?”

Ku tatap kedua matanya lekat-lekat, “Kau memang selalu seperti ini, Rachel. Mengingat semua hal buruk yang orang lakukan padamu, tapi kau tidak pernah sedikitpun memikirkan kelakuan burukmu pada orang lain.”

Aku melangkah mendekat ke arahnya dan mencondongkan tubuhku padanya, “Menurutmu siapa yang lebih dulu bersikap dingin dan tak lagi peduli?”

Rachel memicingkan matanya, “Jangan bilang ini soal Projek Bali?”

“Bu Fira tidak pernah menunjukmu menanganinya, tapi kau bersikeras agar menjadi bagian dari proyek itu. Kau selalu sibuk dengan pekerjaanmu dan tidak ada waktu untuk kita."

“Ikram, jangan bersikap kekanakan. Kau paham benar mengenai ambisiku dan impianku ada dalam proyek besar ini. Bukankah kau bilang mendukungku dalam proyek ini, lalu sikap apa ini? Apakah ini yang dinamakan mendukung?”

Rachel memijat keningnya dan menatapku tajam, “Jika seperti ini lebih baik kita akhiri saja semuanya sampai disini.”

“Rachel-”

“Maafkan aku, Ikram. Hubungan kita sampai disini saja, aku tidak akan bisa memiliki kekasih yang tidak mendukung mimpi dan ambisiku.”

“Kau memutuskanku karena proyek Bali?”

Rachel mendengus, “Bukankah semua sudah jelas?”

Keputusan Rachel tidaklah salah, dia berhak memutuskan sendiri jalan hidupnya dan begitupun aku. Aku menghormati keputusannya, tetapi tidak bisa menerimanya.

Pada akhirnya kami berdua berjalan terpisah dengan jalan yang kami putuskan masing-masing. Aku dengan impianku membangun rumah tangga dalam waktu dekat dan Rachel yang mengutamakan ambisinya sebagai wanita karir.

#

B

ylla’s pov
09:00 WIB

Garis WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang