‧₊˚🍀༉‧₊˚.
Ruangan itu gelap, hanya perapian dengan api kecil yang menerangi. Si empu ruangan pun tampak tidak berniat untuk sekedar beranjak dari single sofa yang ditempatinya dan menyalakan lampu.
Dirinya hanya duduk diam di sana dan sesekali menghisap batang nikotin di sela jarinya sampai seorang pria tua masuk ke dalam ruangan itu.
"Satu ronde lagi. Habis itu giliran lo."
Laki-laki itu bergumam tidak jelas sebagai jawaban.
"Oh ya," Pria yang usianya berkisar 40-an tahun itu tidak jadi meninggalkan ruangan. Ia mendekati keponakannya. "gimana anak-anaknya?"
Luca menurunkan kedua kakinya dari meja. "masih belum keliatan. Besok gue cari."
"Kalau bisa sebanyak mungkin. Semakin banyak yang main, semakin bagus. Tapi inget. Jangan sampai salah pilih target, satu orang aja yang berulah, kita semua yang kena imbasnya," Barak menepuk pundak Luca beberapa kali. "Gue percaya sama lo."
Luca bangkit dari duduknya. Ia membuang puntung rokoknya ke dalam perapian begitu pamannya keluar ruangan. Kemudian tak lama ia pun menyusul pamannya ke lantai bawah untuk siap-siap dan naik ke atas ring.
"Arah jam sembilan," Barak berbisik di samping keponakannya.
Luca mendapati seorang pria bersurai putih berdiri di sana, diapit oleh pria berjaket kulit di kedua sisinya. Tatapan pria itu menyorot tajam. Fokus pada ring yang di dalamnya masih menunjukkan pertarungan dua orang laki-laki dewasa.
"Dia taruh 100, itu bersih yang lo dapet malam ini, kalau menang. Kalau kalah, seperti yang lo tahu. Lo cuma bakal dapet bonyoknya doang," Barak menjeda kalimatnya. "atau lebih parah."
Luca tampak biasa saja mendengar kalimat terakhir yang dilontarkan Barak. Ia seolah telah terbiasa dengan situasi hidup dan mati ini.
MMA, seni bela diri campuran. Pertarungan yang sebentar lagi akan ia lakukan untuk kesekian kalinya. Bedanya pertarungan ini benar-benar pilihan antara hidup dan mati, ini bukan sekedar bualan. Kalau masih takut mati, pilihan terbaik adalah menyerah dengan kondisi yang mengenaskan atau tidak pernah menginjakkan kaki di tempat ini, barang selangkah.
Luca sendiri telah aktif dalam pertarungan bebas ini sejak usianya menginjak tujuh belas tahun. Awal mula dirinya terjun dalam dunia ini tak lain karena tergiur dengan nominal uang yang akan menjadi bayarannya kala berhasil menumbangkan lawan.
Pemikiran gila darah muda.
***
Malam minggu.
Malam keramat bagi sebagian anak muda. Siapa yang tidak keluar pada malam ini, maka akan mendapat julukan nolep, kuper, nerd, dan lain sebagainya.
Dan sepertinya tetangga Jasmine juga berpikir demikian. Buktinya laki-laki itu telah siap sedia di depan pintu rumah gadis itu sejak satu jam yang lalu demi menunggu Jasmine supaya mau ikut malam mingguan dengannya.
"Udah?"
"Oh kurang lama? Balik nih, kalau kurang?" balas Jasmine tengil dan hendak berbalik.
"Eh eh. Jamuran bisa-bisa gue."
"Lagian ada-ada aja gebrakan anak Pak RT satu ini? Heran deh," Jasmine geleng-geleng.
Laki-laki dengan skinny jeans yang atasannya memakai kaus warna putih yang dibalut kemeja flanel kotak-kotak itu memutar bola matanya malas. "Engap gue di rumah. Lagian hampir Agustus nih. Males gue di suruh-suruh bikin surat ini itu. Kayak nggak tahu kelakuan bokap gue aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mixed Signal: Antara Kamu Yang Main-main Atau Aku Yang Tidak Tahu Cara Main
Teen FictionJasmine merupakan siswi tingkat akhir di SMA Diponegoro, selain terkenal karena prestasi dan kecintaanya terhadap alam, gadis berkulit putih pucat itu merupakan penggemar dari seorang Abhumi Zaku yang merupakan pemegang role shooting guard terlama d...