“Nona!”
Seseorang datang menghampirinya dan menyelimutinya dengan sesuatu. Saat itu juga Nindya merasakan hawa dingin malam yang menusuk tubuhnya yang hanya dilapisi piyama tidur.
“Nona apa yang anda lakukan di sini tengah malam? Bukankah dingin? Apakah anda tidak bisa tidur?” seorang pengurus rumahlah yang mendatangi dan menyadarkannya.
Nindya tersenyum kecil dan hanya membalas dengan gelengan kepala.
“Apakah ingin kubuatkan sesuatu?” tanyanya lagi.
Nindya menggeleng lagi. “Tidak apa-apa, pergilah tidur, jangan khawatirkan aku,” ucapnya.
“Sungguh? Kalau begitu aku akan kembali tidur, jika ada yang anda butuhkan, bangunkan aku saja,” katanya sebelum benar-benar pergi meninggalkannya sendiri.
Nindya memeluk dirinya sendiri yang diselimuti jubah, netranya memandang nanar pada kolam renang yang ada di depannya. Lagi-lagi ia tiba-tiba ada di tempat lain tanpa ingatan tentang bagaimana ia menuju kesana. Ada apa ini?
Ia berjongkok, menyibak air kolam dengan tangannya, membuatnya merasakan dinginnya air yang menusuk hingga ke tulang. Ini bukan mimpi, lalu apa ini?
Nindya melangkah menaiki tangga untuk kembali ke kamarnya, dalam pikirannya penuh dengan kejadian aneh yang menimpanya baru-baru ini. Apakah ia sempat membeturkan kepalanya hingga mengalami hilang ingatan?
Ia memukul kepalanya beberapa kali, berharap dengan begitu kepalanya akan kembali bekerja seperti biasanya.
Tiba di depan cermin toilet, Nindya mengamati pantulan dirinya yang tampak kacau. Dengungan yang memekakkan telinga tiba-tiba menganggu pendengarannya, sakit kepala yang telah lama ia derita juga ikut muncul. Rasanya kepalanya ingin meledak. Ia merintih kesakitan, tubuhnya merosot hingga kini ia terduduk dilantai kamar mandi yang dingin. Dengungan dan sakit kepala ini menyiksanya tanpa jeda. Tanpa sadar Nindya kembali memukul kepalanya berharap siksaan yang menimpanya akan berhenti.
Setelah lama merasakan sakit tak berujung, ia memuntahkan isi perutnya ke toilet, semua makanan yang ia makan saat makan malam terbuang begitu saja. Tetapi setelah itu sakit kepalanya akhirnya mereda, Nindya berusaha mengatur nafasnya yang memburu tak karuan, lama-kelamaan ia mulai terisak.
Memeluk kedua lututnya dan memebenamkan dirinya disana, Nindya menumpahkan emosi yang membelenggu, menangis penuh isak di dalam kamar mandi, di tengah malam, sendirian.
~•~
Nindya menuruni tangga, dari atas sini ia bisa melihat dua orang yang ada di meja makan. Tampaknya hari ini mereka akan sarapan bertiga. Nindya meletakkan tasnya di kursi kosong di sebelahnya, ia menempati kursi yang berada tepat di tengah meja makan yang bisa menampung sampai dua puluh orang.
Sedangkan dua orang lainnya ada di setiap ujung meja makan. Ayahnya ada di ujung kanan, sedangkan Ibunya ada di ujung kiri. Tampaknya mereka sarapan bersama, namun nyatanya jarak diantara mereka bertiga bahkan lebih jauh dari pada orang asing.
KAMU SEDANG MEMBACA
When The Sun Goes Down
RomanceBagi sebagian orang, menjalani hidup seperti biasa di zona nyaman adalah satu-satunya pilihan. Awalnya Nindya juga begitu, namun ia mendadak berubah pikiran. ~•~ Setelah didiagnosa menderita tumor otak yang tidak memiliki solusi penanganan dan hany...