Dream high school tidak kekurangan siswa yang terlahir dengan sendok emas. Jejeran mobil yang memenuhi gerbang masuk sekolah elit itu tampak mewah dan tak tersentuh.
Hari ini adalah hari pertama masuk sekolah ajaran baru. Nindya juga ada dalam barisan mobil tak berujung itu. Diantar oleh supirnya, ia akhirnya lumayan kesal karena kemacetan yang memang selalu terjadi di tahun ajaran baru. Tanpa berkata ia turun dari mobil membawa serta tas sekolahnya. Ia memilih berjalan kaki. Banyak juga siswa siswi lain yang memilih berjalan kaki karena mobil mereka yang terlalu lelet bergerak.
Nindya akhirnya sampai di kelas barunya. Ia mengamati papan kelas yang bertuliskan XII - 4, itu kelas barunya. Ini tahun terakhirnya di sekolah menengah. Selanjutnya ia akan kuliah dan berusaha menggapai pekerjaan impiannya.
Ia kembali melanjutkan langkahnya memasuki kelas, ia mengamati seisi kelas yang sudah lumayan ramai, ada beberapa wajah yang ia kenali, banyak juga yang tidak. Mereka akan menjadi teman sekelasnya setahun ke depan. Ia melangkah menuju kursi kosong yang berada di urutan dua dari belakang, meletakkan tasnya disana dan melangkah keluar kelas menuju toilet.
Memasuki toilet, ia disuguhi pemandangan yang cukup mencengangkan di pagi hari. Ia mengabaikannya, melangkah cuek dan memasuki salah satu bilik untuk menuntaskan keperluannya.
Setelah selesai, pemandangan itu masih ada di sana. Pembullyan, itu adalah aksi pembullyan di hari pertama tahun ajaran baru, masalah apa yang bisa terjadi hanya dalam beberapa menit, bahkan pelajaran pertama belum dimulai?
Tiga orang siswi yang penampilannya penuh dengan aksesoris tambahan mewah di seragam dan juga rambutnya, mereka mencelupkan wajah seorang siswi di wastafel yang penuh air. Bahkan seragam atasnya sudah basah akibat brutalnya perlakuan mereka.
“Apa?” salah satunya –Lilyana– yang menyadari kehadiran Nindya berkata tanpa suara dengan raut menantang. Nindya hanya memandangnya datar dan melangkah keluar dari toilet.
Masih ada sekitar lima belas menit lagi sebelum bel berbunyi, ia berdiri di koridor kelas, di depan jendela dan mengamati lalu lalang siswa si bawah sana.
“Nindya!” Teman sebangkunya tahun lalu mendatanginya dengan wajah penuh senyuman. “Hallo,” sapanya.
“Gimana liburannya?” tanya Caramel. “Biasa aja,” balasnya seadanya. “Aku tahu kamu bakal bilang gitu, kebiasaan. Aduh sayang banget kita beda kelas, aku gak bisa berpisah dari kamu!” Caramel berakting dengan dramatis membuatnya tertawa kecil.
“Audisinya lancar?” tanyanya soal audisi akting yang diikuti Caramel saat liburan sekolah kemarin. Dia mengangguk antusias lalu mendekat dan berbisik padanya, “Aku udah ada jadwal training.”
“Keren banget, nanti kalau sudah jadi aktris jangan lupain aku ya,” celetuknya.
Caramel tertawa puas, “Tenang aj—” omongannya terpotong.
KAMU SEDANG MEMBACA
When The Sun Goes Down
RomanceBagi sebagian orang, menjalani hidup seperti biasa di zona nyaman adalah satu-satunya pilihan. Awalnya Nindya juga begitu, namun ia mendadak berubah pikiran. ~•~ Setelah didiagnosa menderita tumor otak yang tidak memiliki solusi penanganan dan hany...