07. Setetes Kasih Penyejuk Jiwa

87 0 0
                                    

"Apa selama ini abang membuat dik Mirna merasa terganggu?" Tanya bang Joko ingin memastikan.

"Tidak ada hubungannya kok dengan tinggalnya bang Joko dan Raka di rumah ini." Jawab Mirna dengan nada pelan.

"Apa papanya Najwa yang tidak suka bang Joko masih tinggal di rumah ini?"

Mirna menggelengkan kepalanya.

"Kalau abang hanya menjadi beban buat di Mirna, mungkin sudah saatnya abang keluar dari rumah ini." Kata bang Joko sambil berdiri, ia bermaksud pergi ke kamar belakang.

Entah kenapa, secara cepat kedua tangan Mirna bergerak menangkap tangan bang Joko. Ia seolah tidak ingin bang Joko pergi. Perasaan aneh menyelimutinya, ia bingung kenapa harus menahan bang Joko saat itu.

Melihat Mirna tidak menginginkan dirinya pergi, bang Joko lalu duduk di sisi wanita itu. Saat itu tangannya masih digenggam oleh Mirna, bang Joko sendiri merasa heran akan sikap wanita di sampingnya itu.

Kini keduanya duduk berdampingan, cukup lama mereka terdiam, tidak ada kata yang terucap. Denga suara yang sedikit parau Mirna meminta agar bang Joko tetap menemaninya di tempat itu. Ia sudah tidak peduli dengan siapa dirinya berbicara, tidak peduli status bang Joko. Ia hanya tidak ingin ditinggalkan seorang diri. Sudah sejak lama Mirna ingin ada seseorang yang mendengarkan keluh kesahnya, memahami penderitaan dan sakit hatinya, menghiburnya dan memberinya semangat hidup. Baginya, bang Joko adalah satu-satunya orang yang bisa ia jadikan teman bercerita untuk menyampakian semua bebannya.

"Ceritakan masalahmu, abang siap medengarkan." Kata bang Joko. "Mungkin abang bisa membantu memberikan solusi."

Secara perlahan Mirna mulai menceritakan semua kisahnya, menumpahkan seluruh beban hidupnya, bahkan tanpa peduli tentang aib rumah tangganya ia menceritakan urusan di atas tempat tidur yang sudah lama tidak ia dapatkan dari suaminya.

Bang Joko begitu antusias mendengarkan ceritanya, hingga tanpa ia sadari salah satu tangannya yang tidak digenggam oleh Mirna bergerak membelai rambut wanita itu.

Ada kenyamanan yang dirasakan oleh Mirna, jiwanya benar-benar dalam kondisi lemah dan pasrah. Bahkan ketika bang Joko merapatkan tubuh kepadanya, Mirna justru merebahkan kepalanya ke pundak pria itu. Ia merasakan ketentraman bersandar di tubuh bang Joko. Belaian tangan bang Joko pada rambutnya membuat ia tidak sadar telah berada dalam pelukan seorang laki-laki yang bukan suaminya. Hati kecil Mirna sebenarnya menolak keadaan saat itu, kenapa ia harus membiarkan bang Joko memeluk tubuhnya dan membelai rambutnya? Kenapa ia sendiri masih menggenggam erat tangan bang Joko? Siapa bang Joko? Dia hanya seorang satpam! Apa yang ia harapkan dari sosok bang Joko?

Begitu banyak pertanyaan yang muncul di kepala Mirna, namun dalam waktu singkat juga pertanyaan-pertanyaan itu menghilang. Ia benar-benar membutuhkan bang Joko, bukan hanya untuk mendengarkan ceritanya, tapi juga belaian mesra yang sudah tidak pernah ia dapatkan dari suaminya. Tapi sebagai wanita ia tetap membatasi diri dengan keangkuhannya, ia tidak mungkin menunjukkan betapa ia membutuhkan laki-laki pengganti suaminya.

Sebagai laki-laki dewasa yang sudah cukup berpengalaman bang Joko seolah tahu apa yang dibutuhkan oleh Mirna. Tanpa berbicara bang Joko mulai membelai pipi halus Mirna, perlahan tangannya memegang dagu Mirna dan mengangkat wajah wanita itu hingga berhadapan dengan wajahnya. Mirna tampak tidak sanggup menatap wajah bang Joko, ia memejamkan matanya. Detik selanjutnya Mirna bisa merasakan bibir lembutnya dikecup oleh bibir bang Joko. Mirna tampak sedikit terkejut dan menari mundur tubuhnya hingga bibir bang Joko yang tegah berusaha mengulum bibirnya pun terlepas.

Tunas Cinta Saat KemarauTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang