Prolog

92 13 2
                                    

Perkenalan singkat:

Dear reader, ini cerita pertama saya dalam genre 'Romance'. Biasanya saya menulis Fanfiction. Saya pikir, tak ada salahnya menulis dalam bentuk yang berbeda sesekali.

Disclaimer:

Saya mohon bijak dalam memilih cerita untuk dinikmati. Cerita ini hanya untuk 18 tahun ke atas. Ada sejumlah adegan dewasa dan konflik traumatik yang hanya bisa dicerna dengan baik bagi mereka yang sudah berusia 18+. Kalau kamu masih kurang dari 18 tahun, tolong lewatkan cerita saya ini.

Cerita ini pun mengandung tokoh utama yang Anti-Hero. Oleh karena itu, kalau kamu terpatri cinta dengan karakter utama yang heroik, cerita ini mungkin akan kurang cocok atau bahkan mengundang kegeraman sendiri.

Terlepas dari semua itu, selamat membaca.

- - -

27 November 2021

Tak pernah terpikirkan setitik pun di benak Lungayu bahwa dirinya akan berada di tempat ini. Pandangannya kosong pada cermin di depannya, ia berpenampilan cantik dan anggun dengan gaun pernikahan yang melekat sempurna di tubuhnya. Meskipun gaun putihnya terlihat sangat pas dan sempurna, dadanya tetap sesak di dalam sana. Otaknya pun begitu sibuk berputar mengimbangi suara kencang yang begitu memekik di kepala.

'Apakah keputusannya sudah benar?'

Pertanyaan itu sibuk berputar satu bulan belakangan ini. Tepatnya setelah ia menyepakati keinginan sang ayah, Kusuma Prawiro yang ingin menikahkannya dengan salah satu putra dari kerabatnya yang kelewat tersohor. Hidup dua puluh tiga tahun dengan sang ayah membuat Lungayu berpikir bahwa kemungkinan dirinya dijodohkan suatu saat nanti bukanlah hal yang mustahil. Karena kakak perempuannya, Louisa sudah menjadi bahan percobaan pertama

— dan sialnya pernikahannya langgeng hingga saat ini.

Lungayu sudah memikirkan kemungkinan terburuk yang akan dihadapinya karena lahir dan besar di Keluarga Prawiro. Ayahnya adalah seorang otoriter yang merasa 'berhak' akan hidup ketiga anaknya. Sedangkan, ibunya hanyalah sosok yang terkesan pasrah menyerahkan hidupnya di garis takdir pernikahan. Membiarkan sang suami mengambil kendali penuh atas setiap keputusan penting di keluarga.

Begitu sialnya lagi, Lungayu adalah seorang perempuan. Sehingga hidup di keluarga yang tumbuh dengan nilai patriarki tentu menambah bebannya berlipat kali ganda. Bukan tanpa alasan sang ayah menjodohkannya di usianya yang tergolong sangat muda, yakni 23 tahun. Ia bahkan baru menyelesaikan studinya dan menjadi jurnalis selama kurang lebih satu tahun. Padahal, sang kakak, Louisa dipaksa menikah di usianya yang banyak dikatakan 'ideal', yaitu 26 tahun.

Lungayu merasa bahwa dirinya adalah social breaker di keluarganya. Mungkin itu yang membuat ayahnya begitu frustasi sehingga menjodohkannya di usia yang masih sangat muda.

Ketika seisi rumah menuruti keinginan sang ayah untuk mewariskan bisnis keluarga dan memegang peran penting di pemerintahan, Lungayu mengambil jalan berbalik dengan menjadi jurnalis. Beberapa keputusan mutlak sang ayah pun tak sedikit yang dilanggarnya: seperti melenggang ke manapun tanpa supir, pulang larut malam, hingga sejumlah atraksi adu mulut dengan sang ayah. Putri terakhir keluarga Prawiro itu memang kurang lebihnya preman.

Untuk pertama kali dalam hidupnya, Lungayu mengikuti keputusan besar sang ayah. Bukan tanpa tujuan: ia hanya ingin berhenti dikekang. Ia ingin keluar dari rumah. Ia ingin kembali ke rumah di malam hari tanpa harus was-was di jalan pulang karena menerka-nerka lontaran kata menyakitkan dan ancaman yang akan dilayangkan ayahnya.

Ia hanya ingin merasa aman dan nyaman dengan hidupnya. Ia hanya ingin melakukan pekerjaannya dengan hati yang penuh tanpa tatapan rendah dan sindiran dari segenap keluarga yang menyebutnya 'munafik' karena lebih memilih untuk menjadi jurnalis.

"Sudah siap?" Tanya laki-laki tua yang entah sejak kapan sudah berada di sebelahnya. Memandang ke arah cermin memerhatikan putri bungsunya yang lebih terlihat—- murung.

Lungayu yang menyadari kehadiran ayahnya sontak tersenyum tipis. Berusaha menepis rasa murungnya. "Kamu tahu, papa lakukan ini semua untuk kebaikan kamu," ujar ayahnya yang kini sudah menggaet lengan putrinya itu.

—begitulah ungkapan semua orang tua ketika berbicara soal keputusan yang diambil secara sepihak terkait kehidupan anak-anak mereka sebagai alibi untuk kebaikan. Lungayu sendiri tidak bisa melihat kebaikan seperti apa yang akan menantinya di pernikahan paksa ini. Namun, ia bisa melihat kalau ada secercah harapan untuk menjaga jarak dari keluarga yang selama ini menciptakan skenario rumit di kepalanya.

Sejauh ini, ia hanya bisa berharap begitu.

"Julian itu anak sulung Keluarga Hartono. Hidup kamu terjamin sama dia. Gak ada yang perlu dikhawatirkan."

"Aku udah bicara soal itu sama Julian. Papa gak perlu ingetin lagi." Balas Lungayu agak ketus.

Julian Hartono. Itu nama calon suaminya. Putra sulung Keluarga Hartono itu pun akan menjadi calon pewaris utama dari semua anak perusahaan Keluraga Hartono di usianya yang ketiga puluh.

Lungayu hanya pernah bertemu pria itu dua kali. Saat makan malam keluarga satu bulan yang lalu sebelum ayahnya mengejutkannya dengan narasi tak masuk akal soal pernikahan dan tiga hari yang lalu, di mana keduanya berbicara empat mata soal kesepakatan dari pernikahan yang akan mereka jalani.

Dari pertemuan mereka yang tak seberapa itu, Lungayu bisa menilai bahwa pria yang menjadi calon suaminya merupakan sosok yang bertolak belakang dengannya. Pria itu ketara menunjukkan bahwa dirinya merupakan kalangan atas, mulai dari cara berpakaian hingga caranya bersikap. Berbeda dengan Lungayu.

Bahkan seribu persen, wanita itu bisa menjamin kalau dirinya bukanlah tipe ideal pria macam Julian Hartono. Julian adalah tipe yang menjadi dambaan umum kebanyakan perempuan: tampan, tinggi, kaya raya, berkarisma, dan terhormat.

Julian adalah bentuk nyata dari karangan penulis di novel percintaan yang sesekali dibacanya. Namun, fakta bahwa pria itu berasal dari latar belakang keluarga yang punya budaya konservatif tak jauh dari keluarganya menjadi nilai minus penuh bagi Lungayu. Ia tahu seperti apa keluarga konservatif membesarkan anak-anak mereka, dan Lungayu rela mati untuk keluar dari lingkaran setan itu.

Namun, Julian pun tak sepenuhnya buruk. Pertemuan mereka beberapa hari lalu membuktikan bahwa pria itu masih bisa diajak berkompromi untuk hal-hal kecil— karena sama sepertinya, ia pun 'terjebak' dalam narasi pernikahan yang diciptakan keluarganya. Keduanya sepakat untuk masuk ke dalam jebakan itu untuk kepentingan masing-masing.

Julian yang ambisius untuk meneruskan bisnis orang tuanya, sedangkan Lungayu si idealis yang kekeh memperjuangkan kehidupan orang terpinggirkan lewat profesinya.

Tak ada yang pernah tahu ke persimpangan mana masa depan akan membawa keduanya.

All That MattersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang