Bagian 4

40 11 5
                                        

"Ini doang? Semua orang ini mah udah gue hubungin, tapi kagak ada yang bales," protes Lungayu ketika Julian mengirimkannya sejumlah kontak orang-orang yang berpotensi membantu memberikan keterangan dalam liputan investigasinya.

"Saya cuman punya itu. Coba kamu hubungi lagi aja, saya sudah bilang  dan mereka setuju buat dibagiin kontaknya ke kamu, tapi saya gak sebut kalau kamu itu jurnalis," jawab Julian yang kini beralih melepas jas di tubuhnya, menyisakan kemeja putih yang menempel di tubuhnya yang sempurna.

"Besok deh gue coba hubungin mereka lagi, nih ada satu sih yang belum gue hubungin," ungkap Lungayu yang tak melepas perhatian dari layar ponselnya.

"Ya sudah."

"Kamu kenapa gak coba datengin perusahaan mereka langsung?" tanya Julian.

"Itu bakal jadi opsi terakhir banget. Karena nanti pasti panjang urusannya, gue bisa dilempar ke mana-mana. Contohnya di kantor lo aja, gue dipersulit, resepsionisnya gak percaya kalo gue istri lo. Pasti mereka kaget juga kalo gue istri lo dikira mau ngelabrak si Ayumi kali," cerocos Lungayu.

"Nanti saya kabarin orang kantor biar bikinin akses buat kamu," respon Julian yang cukup membuat Lungayu kaget.

"Hah? Gak usah, gue juga males ke kantor lo. Gue gak butuh akses masuk kantor lo, cuman butuh keterangan aja sih buat liputan gue. Emang lo gak ada niatan buat bantuin gue apa? Bocorin gitu dikit."

"Bocorin apa? Lucu banget menurut saya, ini kamu jurnalis langsung nanya ke direktur utamanya, lho."

Lungayu jadi tertawa kecil. "Haha iya ya, suami gue lagi. Bodoh banget sih dunia ini— yaudah lo gak mau bantuin gue apa? Penambangan kantor lo Agustus kemarin tuh legal gak sih?"

"Itu legal Lungayu. Kalau kamu mau, saya bisa kasih arsip izin dari pemerintah daerah di sana. Saran saya, yang perlu kamu selidiki itu mafia tanah dan pemerintah daerah di sana. Para pengusaha gak pernah tahu apakah izin legal yang mereka dapatkan itu sudah melewati kesepakatan dari masyarakat adat dan pemda setempat. Tapi gak sedikit juga perusahaan yang memaksa, sampai pakai mafia tanah. Cuman saya bisa pastikan, perusahaan saya gak begitu," jelas Julian.

Lungayu sukses dibuat terdiam setelah mendengar penjelasan Julian. Kali ini ia merasa bahwa saran dari Julian sangat masuk akal, sepertinya ia harus bergerak langsung ke daerah tempat penambangan, dibandingkan fokus pada beberapa perusahaan utama. Karena para petingginya begitu sulit dihubungi, apalagi jam terbangnya sebagai jurnalis pun belum seberapa.

Itu berarti, dalam waktu dekat ia harus berkunjung ke beberapa daerah.

"Gue mau minta arsip perizinan tambang perusahaan lo deh, boleh kan?" ungkap Lungayu setelah beberapa menit terdiam.

"Kirim alamat email kamu, besok saya minta Ayumi kirim ke kamu."

Lungayu mengangguk pelan. "Thanks."

"Tadi mama telepon, minta kita ke sana hari Minggu nanti," tambah Julian yang sukses membuat Lungayu menatap pria di depannya yang kini tengah melipat lengan kemejanya hingga ke bawah siku.

"Ngapain?"

"Saya gak tahu, mungkin kangen sama kamu."

"Ih gak mau ah. Terakhir nyokap lo nanya-nanya soal kapan hamil, aduh gue lagi depresi begini, gak kuat ditanya-tanya begitu. Bilang aja gue ke mana kek— gue juga bakal ke luar kota deket-deket ini buat liputan."

"Nanti saya bantu jawab kalau ditanya aneh-aneh."

Lungayu jadi mencak-mencak, kini wanita itu melempar ponselnya ke atas meja dan menidurkan tubuhnya di sofa. "Aduh gak mau ah, lo gak bisa beralasan apa gitu? Please banget lah, seenggaknya jangan ke sana dulu sampe liputan gue yang ini selesai. Gue setres banget. Tolong."

All That MattersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang