Bagian 3

48 14 9
                                        

Satu minggu investigasi liputan Lungayu berjalan, tetapi wanita itu masih tak menemukan hasil apapun. Semua orang yang bekerja dan pernah berhubungan dengan perusahaan yang menyelenggarakan proyek penambangan batubara di tahun 2022-2023 sudah ia hubungi, tetapi tak ada satupun yang membalas pesannya.

Bahkan editornya sampai mempertanyakan etos kerjanya. Ternyata menyelidiki arsip para perusahaan batubara jauh lebih sulit dari pada yang ia prediksikan. Dari kelima perusahaan yang menjadi target, hanya satu perusahaan yang berhasil ditemukan riwayat tambangnya melalui arsip pemerintah daerah setempat.

Kini, Lungayu hendak menjilat ludahnya sendiri. Karena ia sedang mengendarai mobilnya menuju kantor Julian untuk meminta pertolongan. Untuk pertama kalinya, Lungayu akan meminta bantuan pada sosok pria yang merupakan suaminya sendiri.

Liputan pertamanya ini menjadi penentu reputasi Lungayu sebagai jurnalis ke depannya. Oleh karena itu, ia tak mempunyai opsi lain selain meminta tolong pada Julian. Apabila pria itu tak bersedia membeberkan soal perusahaannya sendiri— yang mana sudah pasti tak mau, Lungayu akan meminta keterangan atau kontak terkait rivalnya, yakni perusahaan batubara yang juga menjadi objek liputan investigasinya kali ini.

"Selamat siang, ada yang bisa kami bantu?" tanya resepsionis di lobi setelah Lungayu masuk ke dalam gedung megah milik perusahaan suaminya itu.

"Hmm-- saya ingin bertemu dengan Pak Julian, Julian Hartono," jawab Lungayu cepat.

"Ada keperluan apa ya, Mbak? Apakah sudah coba konfirmasi ke sekretaris Bapak Julian?"

"Ada yang harus saya bicarakan, saya istrinya."

Seketika resepsionis perempuan berambut cepol itu memerhatikan penampilan perempuan di depannya, dan berhenti tepat pada lanyard pers yang Lungayu kenakan.

"Maaf, tapi mbak dari media?" tanya resepsionis.

Lungayu yang menyadari bahwa lanyard persnya masih terkalung di leher langsung melepasnya dan memasukkannya ke dalam tas. "Saya istri Julian Hartono, kebetulan memang kerja di media," jawab Lungayu, setengah mati masih berusaha sopan.

Suasana hatinya lagi-lagi sedang panas, terutama setelah kembali dari kantor dan beradu mulut dengan atasannya soal liputan yang tengah ia kerjakan.

Resepsionis dengan nametag Adella itu tak semerta-merta percaya. "Bu, saya konfirmasi ke lantai 19 dulu, ya. Lantainya Pak Julian," ujar sang resepsionis.

"Okee, bilang aja istrinya udah nunggu di lobi, ada yang pengen dibicarakan," ungkap Lungayu kini dengan nada sedikit ketus.

Tak perlu waktu lama, resepsionis itu kembali menghadap Lungayu. "Ibu, maaf sebelumnya tapi tidak ada yang menjawab di lantai 19. Saya mungkin akan memanggil rekan saya dulu supaya menjaga lobi, supaya saya bisa ke atas menc---"

"Saya aja deh ke lantai 19, ini genting banget. Kalau nunggu temen kamu dateng dan nungguin kamu balik lagi telat banget. Kasih saya aja akses kartu lift-nya, saya bisa titipin ID saya di sini."

"Maaf bu, tapi gak bis--"

"Saya ini istrinya, lho. Masa akses mau ketemu suami saya aja dihalang-halangi? Kamu mau tanggung jawab kalau masalah saya makin rumit nantinya? Suami saya kalau tahu kamu begini gimana ya?" ungkap Lungayu sedikit mengancam. Lantas membuat perempuan dengan nama Adella itu terdiam.

"Nama kamu Adella? Adella siapa? Kamu udah kerja berapa lama di sini?" Tambah Lungayu.

Jauh di dalam hatinya, Lungayu sungguh benci membawa-bawa jabatan untuk mendapatkan sesuatu. Namun, saat ini pikirannya terlalu kacau. Ia sungguh ingin menangis setelah mengancam perempuan di depannya itu.

All That MattersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang