Bagian 6

45 8 3
                                        

Suasana pagi hari itu cukup mencekam, setidaknya untuk Lungayu, tepatnya ketika sosok wanita bersurai cokelat dan berpakaian modis di hadapannya menginjakkan kaki di rumahnya dan Julian.

Wanita berdarah campuran Prancis-Indonesia itu punya wajah yang sangat mirip dengan Julian, hidungnya mancung dan rahangnya masih tegas meski keriput tetap terlihat di beberapa sudut wajah karena umurnya yang sudah lebih dari setengah abad.

Kecantikan Joanna, ibu mertuanya itu memang tak lekang oleh waktu.

Terakhir kali Lungayu melihat wanita itu ketika acara Natal tahun lalu, dan kini ia baru menyadari bahwa Julian dan ibunya begitu mirip. Hanya saja sejauh ini, Lungayu menilai sifat Julian sedikit lebih baik dari ibunya.

"Kata Julian dalam waktu dekat ini kamu mau ke luar kota? Memangnya kamu masih bekerja, Lungayu?" tanya Joanna dengan nada tenangnya, tetapi tetap saja pertanyaan itu sukses membuat Lungayu kesal.

"Iya ma, aku bakal keluar kota buat kerjaan aku," jawab Lungayu, terpaksa sopan.

"Mama sebenarnya heran sih sama kamu, padahal kamu bisa saja loh duduk cantik di rumah, nikmatin uang Julian aja, gak usah kerja capek-capek," ungkap Joanna yang sungguh membuat menantu yang duduk di seberangnya cukup muak.

"Kamu bisa fokus benahin diri kamu juga, belanja baju, ke salon, perawatan kuku, ikut pilates atau join klub yoga. Dari pada panas-panasan nyari berita," tambah wanita itu.

Lungayu bagai melihat bentuk dari mimpi buruknya hidup dan tengah duduk di depannya. Ketika ia berhasil kabur jauh dari ayahnya untuk menghindari hal-hal seperti ini, ia masih harus dipertemukan dengan kloningan sang ayah, yang tak lain adalah ibu mertuanya sendiri.

"Aku suka kerjaanku ma." Lungayu mencoba memberikan argumen dari keputusannya.

"Memangnya kamu gak suka kalau bersantai di rumah aja? Perawatan dan belanja kan bisa bikin kamu bahagia juga."

"Ma, aku gak pernah keberatan kalau Lungayu kerja. Kalau dia mau itu, ya biarin saja."

Tiba-tiba Julian angkat suara, tepatnya untuk membela perempuan yang duduk di sebelahnya, sebelum kemungkinan besarnya perempuan itu menjadi kesal hingga menggebu-gebu dan berujung bersikap di luar batas pada ibunya sendiri. Pria itu paham bahwa toleransi Lungayu sangat kecil pada orang-orang yang 'berusaha' mengatur hidupnya.

"Mama sebenarnya gak masalah, tapi kalian ini udah nikah dua tahun lho. Kamu tau Julian, berapa banyak papa kamu nanya tentang kalian dalam satu hari? 'Itu si Julian sama anak Prawiro belum ada kabar punya anak?' itu terus yang papa kamu tanyain, mama sampai setres," keluh Joanna.

Pernyataan Joanna tentu bukan hal yang mengejutkan bagi Lungayu. Ia sudah yakin seribu persen bahwa kedatangan ibu mertuanya itu tak lain dan tak bukan untuk menagih pertanyaan kapan ia dan Julian memutuskan untuk punya keturunan. Karena terakhir kali Lungayu berkunjung, Joanna sudah menyinggung soal bayi.

Lungayu benci akan fakta bahwa rahimnya tak 'sejati' milik dirinya sendiri. Keluarganya sibuk mendikte kapan ia harus hamil, bahkan tanpa menanyakan apakah dirinya berkeinginan untuk punya keturuanan atau tidak.

"Kami sepakat untuk menunda punya anak, Ma. Setidaknya tiga sampai lima tahun ke depan," ujar Julian yang membuat Joanna cukup terkejut.

"Lebih tepatnya kami gak kepikiran untuk punya anak, Ma," tambah Lungayu spontan yang jelas membuat Julian menoleh ke arahnya, pria itu jelas terkejut.

Sedangkan Joanna sukses dibuat hampir mati terkejut karena ungkapan putra sulung dan menantunya itu. Seketika terlihat jelas air muka ibu mertuanya itu murung, kecewa, dan marah dalam satu waktu.

All That MattersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang