prolog

209 94 58
                                    

•••••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.





welcome to this story
pov from the main character
🪐

welcome to this storypov from the main character🪐

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

     "AARGHHH SAKIT AYAH. INI SAKITT." Erangan itu lagi-lagi keluar dari bibir pucatku. Namun sama sekali tak pernah diindahkan olehnya.

     "MAKANYA KALO DIBILANGIN ITU NURUT!! GAUSAH BANDEL!! JADI ANAK GATAU DIUNTUNG!!" Bentakan yang sering ku dengar hampir setiap harinya. Dia mencambukku dengan benda panjang dari kulit itu. Beruntungnya ada ibuku yang dapat menghentikan aksi kejamnya.

     "Mas sudah, Mas, cukup engkau memukulinya seperti ini." Sebuah kalimat yang bisa membuat siksaanku berakhir. "Cepat masuk kamar, ga usah kelayapan lagi!! Jangan pernah keluar!! Belajar belajar dan belajar!!" Penekanan pada setiap katanya membuatku bungkam. Aku seakan bisu. Aku takut untuk menjawabnya walaupun sekedar kalimat berterima kasih.

     Aku ingin mengeluhkan semuanya. Namun pada siapa aku bisa melakukannya selain pada Rabb ku. Bahkan aku sendiri dikucilkan oleh semua orang. "Yaa Rabb... Saya lelah... Tubuh saya sakit... Apakah memang tidak ada part bahagia dalam hidup saya Yaa Rabb?"

     Aku menyelinap keluar melewati jendela kamar. Aku ingin merasakan nikmatnya udara segar barang sedetik tanpa merasakan sesak dan sakit. Aku mendapati seseorang bertengger di depan rumahku. Kakiku merajut langkah menghampirinya. "Hai, siapa namamu?"

     Orang itu tampak kebingungan. Tunggu!! Apakah dia orang gila?

      "Apa itu nama? Aku ndak tau apa itu?" Dugaan yang tepat. Ternyata dia bukan orang normal.

      "Sebuah kata supaya orang lain dapat menyebutmu atau memanggilmu." Dia mengangguk paham namun tetap tidak dapat menemukan namanya. "Bagaimana jikalau aku memanggilmu Rojali? Setuju?" Rojali terlihat kegirangan. Tampaknya ia senang dengan nama yang kuberikan.

     Berbicara dengan Rojali membuat diriku seakan lupa akan laraku. Aku senang bisa bertemu dengannya. "Namamu siapa?" Kalimat tanya yang tertuju padaku.

     "Namaku Hilal Al-Ghifari. Sebut saja Hilal."

     "Mas Hilal yang punya rumah ini to? Kok ndak pernah kelihatan pas saya kesini mas?" Aku tersenyum kala mendengar pertanyaan darinya. Setiap kata dengan nada penuh kelembutan yang jarang sekali aku dapatkan. Rojali mungkin gila, namun aku senang jika berteman dengannya. Tutur kata yang dia ucapkan tidak menyakiti hati orang lain.

     "Iya, Jal, aku jarang keluar dari rumah. Aku selalu dikurung di dalam kamar oleh ayah dan ibuku."

     "Loalah mas.. mas, orang tua macam apa seperti itu pada anaknya. Ga asik ah punya keluarga." Seketika tawaku keluar saat mendengar tanggapan dari Rojali. "Orang tua yang baik tidak akan pernah mengekang anaknya. Justru ia membiarkan anaknya bereksplorasi agar banyak mendapat pengalaman." Jika ada yang bertanya 'Seorang Rojali mengungkapkan kalimat seperti itu?' dengan kesadaran penuh aku akan menjawab 'Iya'. Dia mungkin gila, namun ternyata tidak dengan pemikirannya yang peka.

     Aku dan Rojali banyak bertukar cerita dan bercanda bersama. Berinteraksi dengannya membuatku dapat merasakan secuil arti dari kebahagiaan.

     Hari sudah sore. Langit yang semula biru kian berubah perlahan menjadi sedikit oranye. Rojali hendak pergi ke tempat yang biasa ia gunakan untuk beristirahat. Orang tuaku juga akan segera kembali ke rumah. Hah!! Apakah masih pantas penyiksa seperti mereka disebut orang tua? Aahh ya bisa saja, namun tanpa terdapat peran didalamnya. Menyebutnya bisa saja, namun tidak dengan kepantasannya.

     "Belajar jangan HP terosss, Hilal!!" ucap ayah kala melihatku memainkan benda pipihku. "Kamu ini jadi anak bukannya belajar untuk berusaha ngebanggain orang tua malah enak-enakan main HP."

     Aku menghela nafas panjang ketika melihatnya melenggangkan dirinya dari depan kamarku. "Apakah semua nilaku belum cukup untuk membuat mereka bangga terhadapku walaupun tidak mendapatkan peringkat?" Kalimat yang sering kali terucap dalam batinku. Aku bingung harus bagaimana lagi membuat mereka bangga. Menurutinya? Selalu. Jujur? Pasti. Berbakti? Itu apalagi. Apakah semua itu masih kurang? Menurutku itu sudah sangat cukup untuk sekedar membanggakannya pada rekan-rekan kerjanya.

     'Ini loh anak saya yang jujur, berbakti, tidak pernah membangkang pada orang tuanya. Saya bangga mempunyai anak seperti dia.'

     Sederhana, namun tidak semua anak bisa mendapatkannya. Sederhana, namun tidak bagiku yang tak pernah mendapatkannya.

     Bagi mereka aku hanyalah anjing pembangkang yang menjadi benalu dalam keluarga. Seorang anak yang tidak tahu diuntungkan menurutnya.

     Hari sudah larut. Saatnya untuk diriku beristirahat menghapus penat. "Aaah aku lelah jika harus setiap hari bertemu dengan mereka." Bak anjing yang selalu membuli hewan kecil yang lain. Mereka memperlakukan diriku selayaknya hewan. Memukuliku, mengerjaiku, bahkan menjadikanku pesuruhnya.

     Aku cukup takut untuk melawannya. Aku terkucilkan saat di sekolah. Aku terlalu takut untuk berinteraksi dengan penghuni sekolah. Aku tidak pernah memiliki teman sedari kecil. Sebab itu aku tidak pernah tahu bagaimana cara menghadapi hal-hal yang mungkin terjadi dalam hubungan antar dua orang atau lebih. Aku tidak pernah tau bagaimana caranya melawan hinaan mereka. Oleh sebabnya aku hanya bisa diam tanpa ada perlawanan.

Manusia gila.

     Kata yang tepat untuk mendeskripsikan betapa keji dan kejamnya mereka-mereka yang menganggap dan memperlakukanku bak seekor hewan yang berwujud manusia. Yang hanya menganggapku seonggok kumpulan daging yang tak berharga.



🪐

to be continued

Between Me and Destiny Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang