11. cooking at Hilal's home

139 106 38
                                    

welcome to the next part
🪐





happy reading

     Hilal memasuki ruangan dengan warna cat dominan putih yang merupakan tempat tinggalnya. Menelisik sekelilingnya, mengamati tiap sudut ruangan. "Alhamdulillah, sudah pulang." Hilal bersyukur telah kembali dari rumah penuh obat itu.

     "Masih sama." Hilal terkekeh kecil saat netranya masih terfokus memandangi bagian-bagian rumahnya. Sepi. Itu maksud Hilal. Masih sama dengan apa yang selama ini Hilal rasakan.

     Hilal kembali melanjutkan langkahnya menaiki tangga. Ia menuju ruangan favoritnya, yakni kamarnya. "Woishh berdebu sekali." Hilal mengambil sapu dan mulai menggeserkannya ke lantai. "Padahal hanya ditinggal empat hari saja."

     Kamal Alvaro. Kini lelaki itu tengah mengendarai motornya menuju rumah Hilal. Jalanan yang tidak begitu ramai memudahkannya untuk melaju sedikit lebih cepat. Dia tahu bahwa sepupunya itu telah kembali dari rumah sakit. Hilal sendiri yang mengatakannya dalam pesan.

     Kamal menyelesaikan urusannya dengan cepat supaya bisa cepat-cepat mengunjungi sepupunya, Hilal. Tanpa perlu panjang lebar, kini Kamal sudah memarkirkan motornya di pekarangan rumah Hilal. Setelahnya, dengan lekas ia memasuki bangunan di depannya, mencari penghuninya.

     "Hilal?" Kamal memanggil.

     Mendengar itu sang penghuni rumah pun menjawab panggilannya. "Iya, Mas. Di atas." Hilal sedikit berteriak.

     Kamal yang mendengar itu pun lekas menaiki tangga rumah tersebut. Berlari menuju ruangan yang dimana sudah bisa dipastikan bahwa Hilal berada di sana. "Ngapain?" tanya Kamal kala membuka pintu kamar Hilal.

     Di sana dirinya mendapati seorang lelaki tengah bersih-bersih. Lantas Kamal pun ber-oh ria. "Mas ada urusan apa tadi?"

     "Oh, itu Temenku minta ditemenin ke bandara. Udah janjian dari kemarin-kemarin sebelum kamu bilang kalo mau pulang hari ini. Untungnya ada cewek itu yang memang punya tanggung jawab buat urusin kamu," jelasnya panjang lebar. Jujur saja, Kamal merasa tak enak hati sebenarnya karena tidak bisa menjemput adik sepupunya itu. Namun di sisi lain dia juga tidak enak jika harus membatalkan janjinya menemani temannya itu. Sebab itu ia memilih menemani temannya. Terlebih lagi ada seseorang yang sudah menemani dan menjemput Hilal. Jadi ia bisa sedikit lebih tenang. Hilal juga tidak mempermasalahkan hal itu.

     "Oiya, Lal, cewek itu siapa sih? kok bisa tiba-tiba jadi penanggung jawab semua urusan pas kamu di rumah sakit?" Kamal bertanya.

     "Waktu itu ....." Seterusnya Hilal bercerita tentang bagaimana ia bertemu gadis itu. Bagaimana bisa gadis itu menjadi wakil keluarganya, dst.

     Kamal mengangguk paham. Kini dirinya telah terbaring di atas singgasana ternyaman milik Hilal.

     "Mas, ayo shalat?!" ajaknya pada Kamal saat mendengar suara azan berkumandang. Kamal mengiyakan ajakannya tanpa penolakan atau alasan apapun. Dengan segera dirinya beranjak dari pembaringannya.

     "Habis ini mau ngapain? Kamu ada makanan, ga?" tanya Kamal sebelum dirinya meninggalkan ruangan tersebut.

     "Pikirkan itu nanti saja. Sekarang kita shalat dahulu." Hilal mengakhiri kegiatannya dan menyusul lelaki yang telah di depan mendahuluinya.

     Hilal beserta Kamal kian telah menyelesaikan ibadahnya. Mereka kembali ke kamar milik Hilal. Sejenak Kamal merebahkan tubuhnya sembari menunggu adik sepupunya itu selesai dengan urusannya.

Between Me and Destiny Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang